'Where Does This Door Go' Mayer Hawthorne: Pintu Pribadi yang Terbuka dan Modern

Jakarta - Jangan pernah meremehkan Andrew Mayer Cohen. Di balik tampang lugu dan kacamata nerd-nya, ia punya sejumlah pekerjaan yang akan membuat Anda menelan ludah; seorang penyanyi, penulis lagu, arranger, audio engineer, DJ, rapper, hingga musisi dengan kemampuan multi-instrumentalis. Namun, dengan style retronya ia tampak seperti miliuner jenius dari dekade 60-an dan pergi ke masa kini dengan mesin waktu.

Mayer Hawthorne adalah nama panggung yang dipakai pria 34 tahun asal Los Angeles ini. Ia memulai debut karier pada 2006, dengan melahirkan karya neo-retro-soul paling terkenal berjudul 'Just Ain't Gonna Work Out' dan 'I wish It Would Rain' dari album soul galau pertamanya yang dirilis pada 2009 bertajuk 'A Strange Arrangement'. Kemudian, album keduanya, 'How Do You Do' (2011) seakan kembali mempertegas kepada dunia siapakah sebenarnya laki-laki ini.


Selang setahun setelah penampilan live-nya di salah satu festival jazz terbesar di Indonesia, Mayer Hawthorne merilis album studio berjudul 'Where Does This Door Go'. Tidak ada tanda baca yang mengakhiri kalimat bernada tanya itu. Namun, "Where Does This Door Go" tetap terlihat merujuk pada suatu pertanyaan implisit yang terus menjadi tantangan bagi setiap musisi yang sekiranya telah menghasilkan 2-3 album: tantangan evolusi musikal; yang berhasil melakukannya akan tetap terkenal, dan yang gagal harus pensiun dari industri ini.


Ia tahu betul bagaimana hal alami itu terjadi. Oleh sebab itu Mayer kembali menyajikan sesuatu yang berbeda di album ketiganya ini. Salah satunya dengan memasukkan desahan wanita dalam lagu perkenalan 'Problematization'. Ketika suara resleting ditutup, wanita itu bertanya singkat, "Wait, you're not going to tell anybody about this, right?" Mayer menjawabnya dengan memberikan salah satu track paling fun berjudul 'Back Seat Lover'. "Ooh, I can't believe what you told me/ You know that I'd never hit and tell".


Mayer juga tahu bagaimana memulai lagu 'The Innocent' dengan memberikan efek suara yang bergerak naik dan berputar di kepala Anda, hingga feel-laid-back pada 'Allie Jones' yang misterius. Ia tidak lupa melakukan pendekatan berbeda dalam track berjudul 'Her Favorite Song' ketika menciptakan lanskap suara falsetto-nya yang terkenal itu. Serta 'Crime' yang meninggalkan kesan unik; dari suasana Timur Tengah di awal berubah menjadi modern dengan hadirnya Kendrick Lamar yang bertugas rapping di pertengahan lagu menjelang akhir.


Namun, di antara 15 lagu yang ditawarkan (sebenarnya 13 karena 'Problematization' dan 'Ay Bass Player' hanyalah bridging), saya paling menjagokan 'All Better'. Mendengar lagu ini akan membuat Anda bernostalgia dengan karya klasik milik The Beatles. Sekilas mirip, apalagi ketika Mayer Hawthorne menyanyikan bagian chorus "Love can make me all better / love can make me all right / love can pull me together / so just make me all better tonight," dengan cara paling romantis yang bisa ia lakukan.


Saya sendiri tidak bisa mengatakan apa sebenarnya genre album ini. Terlalu banyak influence dan new-sound di album 'Where Does This Door Go'. Pengaruh dari beberapa produser; Pharrel Williams, Jack Splash, Greg Wells, Warren "Oak" Felder dan Da Internz yang menyebabkan album ini terlihat berbeda dengan 2 rilisan terakhir, di mana Mayer, seorang musisi multi-instrumentalis perfeksionis sejati, mengerjakannya sendiri dengan sedikit egois dan subjektif. Namun, semua hal itu seakan menjawab pertanyaan di atas: pintu ini menuju ke pribadi yang lebih terbuka dan modern.


Rendy Tsu (@rendytsu) music director, album reviewer dan music editor.


(mmu/mmu)


Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!