Jakarta - Film dokumenter masih dianggap sebagai tontonan kelas dua oleh sebagian besar penonton film di Indonesia. Sebagian orang menganggapnya sebagai tontonan yang membosankan, sebab tak ada aktor-aktris idola yang rupawan, juga koreografi aksi-aksi laga mendebarkan. Bahkan, masih sering kita dengar komentar orang tentang film dokumenter seperti, "Ah, nonton film begitu sih di TV aja."
Mengejutkan ketika Daniel Ziv, ekspatriat dari Kanada yang tinggal di Jakarta sejak 1999, merekam kehidupan para pengamen ibukota dan menyusun setiap potongan rekaman itu menjadi cerita yang pantas untuk kita simak. Mengerjakan film yang kemudian diberi judul 'Jalanan' yang memakan waktu hingga tujuh tahun ini bukanlah perjumpaan pertama Daniel dengan peradaban Jakarta. Sebelumnya ia telah dikenal sebagai pendiri sekaligus editor 'Djakarta', majalah bulanan yang sempat nge-hits itu. Ia juga menulis buku 'Jakarta Inside Out' --sebuah risalah budaya pop warga urban.
'Jalanan' adalah proyek kesekian dari Daniel, yang barangkali lahir dari rasa cintanya terhadap Jakarta dan para penghuninya, juga dari nalurinya yang besar untuk berbagi cerita. Di film ini, kita diajak untuk berkenalan dengan tiga orang pengamen, sekaligus berakrab-akrab dengan mereka; Ho, Titi dan Boni. Ketiganya orang-orang yang mungkin kerap kita acuhkan keberadaannya tatkala mereka mengamen di bus kota. Di luar suara mereka yang memekakkan telinga para penumpang bus, ada cerita-cerita seru yang mungkin tak pernah kita duga selama ini.
Berkat ketelatenannya, Daniel berhasil menyajikan kisah mereka menjadi sesuatu yang layak kita dengar. Misalnya, cerita tentang Boni yang tinggal di kolong jembatan; kita dibuat terkejut bahwa ia begitu menikmati dan merayakan hidupnya. Tak ada rasa ingin dikasihani, bahkan mungkin saja Boni lebih tahu bagaimana caranya menikmati hidup daripada sebagian dari kita. Paling tidak ia tahu caranya bersenang-senang di "rumah"-nya itu, sambil berusaha untuk tetap menggapai mimpinya. Lalu kita disuguhi satu adegan saat ia berbincang dengan kekasihnya di pinggir kali tentang optimisme dan rencana-rencana yang ia miliki. Dan, Boni sangatlah lucu. Ketika kita menyaksikan kisahnya, ada saja hal-hal yang mengundang tawa.
Pun begitu dengan Titi; wanita ini hebat tiada banding. Merantau ke Jakarta, ia mengamen dengan gitarnya dari satu bus ke bus lain. Setiap bulan ia mengirimkan uang kepada orangtuanya di kampung dari penghasilan mengamennya, sisanya dia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dan, yang mengejutkna, pada saat yang bersamaan ia juga berjuang untuk mendapatkan ijazah Paket C, sesuatu yang ia idam-idamkan sedari dulu. Menyaksikan kisah Titi sungguh membesarkan hati, bahkan menyebutnya sebagai wanita yang hebat saja rasa-rasanya belum sepadan.
Ho lebih kurang kesehariannya mirip dengan Boni, sama-sama pengamen, sama-sama suka berkelakar. Bedanya ia tak tinggal di kolong jembatan. Dan Ho juga punya cerita yang menakjubkan. Di awal perkenalan kita dengan Ho, ia sempat berujar dengan gayanya yang ngocol, bahwa mencari kekasih itu adalah proses yang tak berkesudahan. Ia selalu saja gagal dalam menjalin hubungan asmara, hingga pada satu ketika ia berkenalan dengan seorang wanita, lalu mengajaknya kencan di sebuah rumah makan padang. Anda harus menyaksikan sendiri bagaimana caranya merayu wanita yang ditaksirnya ini, hingga pada akhirnya sang pujaan hati luluh dan mau menjadi pendamping hidupnya!
Bila apa yang saya utarakan di atas memberi Anda kesan bahwa film ini bertutur dalam gaya bercerita dokumenter ala TV nasional kita yang bernada terisak-isak, maka itu kesalahan saya. Faktanya, 'Jalanan' adalah kisah perjalanan hidup penuh gelak tawa dan perayaan dari tiga orang hebat, kharismatik, dan juga --ah, saya tak suka menggunakan kata ini, tapi baiklah kali ini pengecualian-- inspiratif! Kisah mereka mampu menggugah hati dan memberi setiap alasan agar hidup mestinya selalu kita rayakan!
Shandy Gasella pengamat perfilmana Indonesia
(mmu/mmu)