"Saya seperti punya kedekatan batin dengan Borobudur," kata pria yang akrab disapa Romo Mudji ini memulai cerita.
Mudji kecil kerap mendaki candi terbesar di Indonesia itu bersama teman-teman sebaya. Hal tersebut dilakukan sebagai lomba berlari ke atas lalu turun lagi. Siapa tercepat, dialah pemenang.
Beranjak remaja, saat ia sekolah dan berasrama di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, pengenalan terhadap Borobudur kian dalam. Romo Mudji bertemu 'guru' yang memuncakkan rasa kagum lewat sehelai daun pohon bodhi.
Daun tersebut ditunjukkan sambil membandingkan bentuk stupa Borobudur yang memang serupa. Lalu dijelaskan tentang kisah Sidharta Gautama yang mendapat pencerahan di bawah pohon itu.
"Saya seperti didorong untuk pergi ke candi tiap hari libur hanya untuk sebuah pertanyaan, 'benarkah stupa candi Borobudur merupakan 'helai-helai' daun pohon bodhi, pencerahannya Sidharta Gautama?'" ujarnya.
Sejarah masa kecil inilah yang membawa Romo Mudji berkelana mencari perbandingan dengan candi-candi budhis di Ayuthaya, Thailand, dan Angkor Watt di Kamboja.
Bahkan, ketika berada di Kamakura, Jepang, pria 59 tahun itu mendalami perkembangan budaya Budhisme-Zen yang juga ia dapati di India dan Cina.
Sketsa 'Dari Stupa Ke Stupa' hanya bagian kecil dari perenungan religiusitas Borobudur dimana di dalamnya terdapat bahasa keindahan yang jujur dan penuh warna.
(fip/utw)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!