Cerita Sutradara tentang Film Dokumenter 'Marah di Bumi Lambu'

Jakarta - Komnas HAM dan Forum Lenteng memutar film dokumenter 'Marah di Bumi Lambu' pada Senin (12/5/2014) pukul 19.00 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. USai pemutaran, sutradara Hafiz Rancajale menyempatkan untuk berbincang mengenai filmnya.

Ada kekayaan elemen dokumentasi yang dituangkan dalam film. Potongan dan gabungan elemen ini merangkai sebuah keutuhan penggambaran dalam dokumenter berdurasi 93 menit, yang menceritakan tragedi di Lambu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Memasukan penggambaran yang sekilas tampak minim editing ini pun beralasan.


"Tidak ada satupun dalam film yang kita mengadegankan, semuanya kita rekam dan kita ajak teman-teman untuk ngobrol. Jadi prinsipnya itu," jelas Hafiz.


"Memang kadang-kadang kita sulit untuk menerima ini, karena kita terbiasa dengan pola editing yang cepat, penyusunan yang cepat. Karena kita adalah masyarakat televisi dan televisi selalu memberikan sesuatu yang cepat dan instan," tambahnya.


Dengan penyajian gambaran keseharian masyarakat di desa Lambu dan bagaimana peristiwa tragedi itu masih segar diingatan mereka, Hafiz berharap masyarakat bisa menjadikan ini bahan telaah yang lebih jauh.


"Jadi ketika kita hadirkan sisi manusia, dengan perekaman nyata yang coba kita hadirkan mungkin butuh waktu atau durasi lebih panjang kalau kita ingin bagaimana masyarakat di sana sebenarnya. Di sini kalau kita berikan lebih, masyarakat jadi bisa mengobservasi lebih jauh soal itu," ujarnya.


Film mengangkat tema soal hak atas tanah untuk menunjukkan bahwa konflik tanah berada dalam posisi paling atas dari permasalahan yang diadukan oleh masyarakat. Dokumenter konflik di Lambu Bima ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada publik dan stakeholder bagaimana masyarakat memperjuangkan hak mereka dan bagaimana aparat menyikapi warga yang memperjuangkan haknya tersebut.


(ass/ich)