Film 'Belenggu': Dunia Baru Upi

Jakarta - Di kota itu, orang-orang berkasak-kusuk tentang pembunuh yang masih berkeliaran. Di kota itu, sebuah kota kecil, semua orang saling kenal. Sebuah kota yang muram, dan terbuat dari kafe, bar dan apartemen yang kusam. Elang (Abimana Aryasatya), seorang pria yang selalu berjalan terburu-buru, mengisi hari-harinya dengan duduk di pojok kafe itu.

Dia sendiri berkerja di sebuah bar, dan tinggal di apartemen dengan dinding-dinding yang mengelupas di sana-sini. Ia seperti orang yang sudah kehilangan harapan, tapi pada suatu saat ia berkata bahwa hanya satu alasannya untuk selalu pulang ke apartemen busuk itu: si gadis kecil.


Gadis itu mengenakan gaun kembang-kembang, mungil dan cantik, duduk bersimpuh di lantai bermain congklak. Ia anak tetangga, dan Elang selalu ingin melindungi dia dan ibunya yang cantik (Laudya Cynthia Bella), dari ancaman suaminya yang aneh (Verdi Solaiman). Tapi, siapa yang aneh sebenarnya? Di mata suami dari ibu dan bocah perempuan itu, tentu saja Elang-lah yang aneh. Tapi, apartemen itu sendiri memang sudah aneh, berbagai penampakan manusia muncul di situ, dan tak ada satu pun yang normal dan wajar.


'Belenggu' (tidak ada hubungannya dengan novel kanon sastra Indonesia karya Armyn Pane itu) adalah dunia yang baru dari sutradara Upi, yang sebelumnya kita kenal lewat film-film seperti 'Realita Cinta dan Rock n Roll', 'Radit dan Jani', serta 'Serigala Terakhir'. Tanpa makian-makian kasar dari tokoh-tokohnya seperti dalam film-film Upi sebelumnya, film ini memasuki dirinya belakang, dari mimpi Elang.


Ternyata, Elang memang orang yang hidup di dunia dunia, mimpi dan kenyataan. Dengan penokohan seperti itu, Upi pun jadi leluasa untuk berbuat apa saja, menciptakan berbagai keanehan situasi-situasi dan manusia-manusia. Lama-lama yang mimpi dan yang nyata menjadi tak berbatas lagi. Perempuan bernama Jingga (Imelda Therinne) yang selalu muncul dalam mimpi Elang, pada suatu ketika muncul beneran di bar tempat Elang bekerja.


Dan, sejak kemunculan Jingga berbagai kejadian misterius pun harus dihadapi oleh Elang. Namun, Elang sudah kadung jatuh cinta pada Jingga, dan bersedia memenuhi syaratnya: membunuh para begundal yang dulu pernah memperkosanya.


Setelah tadi dibilang bahwa film ini memasuki dirinya dari belakang, kini perlu ditambahkan bahwa film ini memasuki dirinya dengan cara yang terlalu ribet dan bertele-tele. Akibatnya, menjelang paroh kedua, film ini repot sendiri menjelas-jelaskan apa yang sebenarnya terjadi di bagian awal tadi. Penonton menjadi seperti berpindah dari dunia (rekaan) antah-berantah, menjadi drama petualangan detektif polisi Jakarta.


Apakah inkonsistensi gaya (juga ruang dan waktu) itu bagian dari cara Upi meramu antara dunia mimpi dan nyata? Yang jelas, film ini memang seperti 'suka-suka' saja memasukkan berbagai unsur misteri yang tak punya pijakan tunggal. Bar itu, pertunjukan badut kelinci itu, membawa kita ke dunia entah di mana. Tapi, tembang Jawa yang ikut menghantui Elang bersama dengan mimpi-mimpi dan gambar-gambar buruk yang membelenggunya, membuyarkan fantasi kita.


Banyak hal dalam film ini terkesan sedekar dimasukkan untuk mengejar efek eksotika dari sebuah dunia yang gila. Tapi, ini memang dunia baru Upi yang mungkin juga perlu dilihat dan dimaknai dengan cara yang baru pula. Selamat menonton!


(mmu/mmu)