Inilah untuk pertama kalinya, seluruh karya puisi penyair yang hilang dalam huru-hara Reformasi 98 itu diterbitkan dalam satu buku. Dengan judul 'Nyanyian Akar Rumput', buku ini melengkapi karya sebelumnya yang pernah diterbitkan di bawah judul 'Aku Ingin Jadi Peluru' (Indonesia Tera, Magelang, 2000). Dalam kumpulan lengkap yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama kali ini, termuat puisi-puisi "terbaru' Wiji Thukul yang sebelumnya terbit lewat edisi khusus Majalah Tempo pada 2013.
Menurut Public Relation Gramedia, Dionisius Wisnu, penerbitan buku kumpulan puisi lengkap Wiji Thukul memang dalam rangka ASEAN Literary Festival. "Program director festival tersebut, Okky Madasari, menawarkan kumpulan puisi Wiji Thukul yang menjadi tema festival untuk diterbitkan. Selain bernas, puisi-puisi tersebut memang layak diterbitkan kembali karena ikut mewarnai perjalanan dunia sastra kita," tutur Wisnu kepada detikhot, Jumat (21/3/2014).
Sebagai kumpulan lengkap, 'Nyanyian Akar Rumput' memuat semua buku kumpulan puisi Wiji Thukul yang pernah terbitkan. Buku ini terdiri atas 7 bab, yang masing-masing mewakili perjalanan kepenyairan Wiji Thukul secara kronologis. Yakni 'Lingkungan Kita Si Mulut Besar', 'Ketika Rakyat Pergi', 'Darman dan Lain-lain', 'Puisi Pelo', 'Baju Loak Sobek Pundaknya', 'Yang Tersisih' dan 'Para Jenderal Marah-marah'.
Buku ini juga dilengkapi dengan kata pengantar dari (alm) Munir, yang sebelumnya juga termuat dalam kumpulan 'Aku Ingin Jadi Peluru'. Munir menjuluki Wiji Thukul sebagai seniman rakyat, dan dia menilai puisi-puisinya dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas sosialnya.
Wiji Thukul lahir di kampung Sorogenen, Solo pada 26 Agustus 1963. Lahir dari keluarga tukang becak, Wiji drop out dari sekolahnya di Sekolah Menengah Karawitan untuk kemudian menjadi buruh pelitur mebel. Menulis puisi sejak SD, bakatnya tertempa ketika ikut teater sejak SMP. Di masa Reformasi ia mendirikan Jaker yang kemudian bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik yang radikal kala itu.
Pada 1991, Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award dari Belanda. Bersama Rendra, ia adalah penerima pernghargaan pertama dari yayasan yang didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda, WF Wertheim. Pada 2010 Wiji Thukul menerima Yap Thiam Hiem Award atas jasanya dalam peningkatan dan perlindungan hak asasi manusia. Ia hilang sejak 27 Juli 1996. Selarik puisinya menjadi jargon yang sangaty terkenal dalam perjuangan melawan penindasan dan kesewenang-wenangan rezim penguasa: Hanya satu kata, lawan!
(mmu/mmu)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!