'The Hobbit: The Desolation of Smaug': Sensasi Naga Raksasa

Jakarta - Membuat film seperti 'Lord of the Rings' bukanlah pekerjaan mudah. Selain faktor budget, para pembuatnya harus pintar-pintar meringkas sebegitu detail dunia rekaan J.R.R Tolkien ke dalam sebuah durasi yang cukup dimaafkan. Belum lagi 'pekerjaan rumah' bahwa pembuatnya harus --paling tidak-- memuaskan para penggemar bukunya yang fanatik. Jadi, ketika 'Lord of the Rings' sukses besar secara kualitas dan komersial, tidak ada yang bisa menyalahkan Peter Jackson ketika kemudian menoleh ke pangkal dari semua kisah itu.

Hasilnya? Bagian pertama dari 'The Hobbit', 'An Unexpected Journey' sudah kita saksikan, adalah sebuah film fantasi yang cukup membosankan meskipun visualnya megah. Tidak heran jika nama Jackson dipertaruhkan di sini. Jadi, apakah 'The Desolation of Smaug' akan mengalami nasib yang serupa?


Bilbo (Martin Freeman) masih menemani Thorin (Richard Armitage) untuk kembali ke istananya dan merebut kembali apa yang dia punya. Bersama dengan para kurcaci dan Gandalf (Ian McKellen), Bilbo harus menghadapi berbagai masalah. Mulai dari Orc yang ganas, peri-peri yang tidak bersahabat dan juga penduduk kota yang trauma dengan tragedi masa lalu. Seakan itu semua belum cukup, Bilbo dan teman-temannya masih harus menghadapi naga raksasa yang sedang asyik menempati istana Thorin.


Ketika New Line Cinema memutuskan bahwa Guillermo del Toro dipilih menjadi sutradara 'The Hobbit', fans 'Lord of the Rings' langsung menyambutnya dengan positif. Sampai akhirnya del Toro terpaksa harus hengkang dari produksi dan digantikan oleh tak lain dan tak bukan Peter Jackson lagi. Sebagian orang langsung bergembira karena Jackson sudah pasti akan memberikan tampilan yang extravaganza, beberapa lagi merasa bahwa Jackson akan membuat 'The Hobbit' menjadi membosankan karena dia sudah kelelahan mengeksplor Middle-earth dalam tiga film sebelumnya.


'The Hobbit' pertama terbukti menjadi film yang kurang menghibur. Ada banyak bagian yang terasa tidak perlu ditambah-tambahkan dalam film ini. Dengan durasi sepanjang 169 menit, 'An Unexpected Journey' terasa terlalu melelahkan. Untungnya, hal tersebut tidak terjadi dalam 'The Desolation of Smaug'. Durasi film sepanjang 161 menit ternyata tidak menyisakan ruang bagi Jackson untuk bertele-tele. Temponya stabil dan semua adegan mempunyai tujuan yang jelas, bukan sekedar usaha Jackson untuk mengulur-ngulur waktu.


Dalam 'The Desolation of Smaug' adegan action-nya juga jauh lebih menegangkan dan sangat sinematik. Lihat adegan proses kaburnya Bilbo dari kerajaan peri melewati sungai. Itu adalah hal yang hilang dalam film pertamanya. Jackson juga menampilkan Middle-earth dengan jauh lebih megah dan secara visual sangat memanjakan mata. Sang naga, Smaug, yang disyut dengan menggunakan teknologi yang sama saat mereka menciptakan Gollum adalah salah satu alasan Anda harus menyaksikan film ini di bioskop. Smaug tampak gagah, ganas dan tak tertandingi.


Benedict Cumberbatch sebagai pengisi suaranya adalah salah satu faktor yang membuat Smaug menjadi makhluk tiga dimensi. 'The Desolation of Smaug' memang bukan 'Lord of the Rings' --apalagi subplot dangdut antara Tauriel (Evangeline Lilly) dan Kili (Aidan Turner) maksa banget dan scoring-nya (Howard Shore) membuat film ini seperti sinetron 'Tersanjung'. Tapi, paling tidak serial 'The Hobbit' menjadi prekuel yang layak untuk ditonton di bioskop. Dan, dengan ini saya resmi menanti jilid penutupnya.


Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.


(mmu/mmu)


Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!