Dalam 'The Counselor', moral adalah sesuatu yang bisa disebut relatif. Apakah memotong kepala orang sampai putus adalah hal yang salah? Tergantung dari sudut mana Anda melihatnya. Kejam? “Kebenaran tidak mengenal temperatur,” ucap Malkina di awal film, yang diperankan begitu sedap oleh Cameron Diaz.
Sentral film ini adalah seorang pengacara yang dipanggil dengan nama Konselor (Michael Fassbender). Sepanjang film penonton tidak diberi tahu siapa namanya, datang dari keluarga mana atau bahkan bekerja untuk siapa. Yang penonton tahu adalah dia benar-benar mencintai kekasihnya, Laura (Penelope Cruz), dan keputusannya untuk akhirnya ikut bisnis narkotika bersama Reiner (Javier Bardem).
“Apakah kau serius?” Reiner berulang menanyakan ini kepada Konselor dan dia pun mengiyakannya. Reiner pun, yang mengakui bahwa dirinya sebenarnya tidak pintar, segera membuat janji agar Konselor bertemu dengan si penengah, Westray (Brad Pitt dalam kostum koboi). “Kalau misalnya ada apa-apa, konsekuensinya benar-benar gawat,” kata Westray mengingatkan Konselor saat pertama kali mereka bertemu. Dengan senyum lebar dan giginya yang mahal Konselor menjawab bahwa Westray tidak perlu mengkhawatirkan itu. Dan, ternyata Konselor salah. Ada sesuatu yang benar-benar terjadi dan masa depannya pun mendadak menjadi kelabu.
Jelas sudah bahwa 'The Counselor' bukanlah sebuah drama yang biasa. Anda yang mengharapkan sebuah thriller yang penuh dengan adegan aksi, siap-siaplah kecewa. Film ini adalah thriller yang puitis. Begitu puitis sehingga hampir 70% dari keseluruhan film ini, semua karakter dalam film ini, tidak melakukan apa-apa kecuali berdialog tentang moral, kemanusiaan dan seks. Dan, dalam kekosongan itu pertanyaan-pertanyaan seperti “mengapa” dan “bagaimana” akan terus-terusan memenuhi kepala Anda.
Di tengah gempuran film Hollywood yang penuh dengan adaptasi dan sekuel dan kegemaran mereka untuk menjelaskan segalanya, ada sesuatu yang menyenangkan dalam kemisteriusan –beberapa orang mungkin menyebutnya kemalasan– 'The Counselor'. Penonton mungkin tidak pernah dibiarkan untuk mengetahui dengan pasti motivasi-motivasi asli karakter-karakternya atau mengapa mereka melakukannya. Namun, suasana yang dingin –berterima kasihlah kepada sinematografer Dariusz Wolski yang bekerja sama lagi dengan Scott setelah 'Prometheus', yang membuat daerah sepanas Texas terasa seperti Alaska– dan atmosfer yang tidak menyenangkan (setiap karakter berpotensi untuk saling menikam) membuat 'The Counselor' menjadi thriller yang mantap untuk disantap.
Dengan dialog-dialog yang begitu kaya –ketahuan sekali bahwa penulis skripnya adalah maestro kata-kata– yang mendekati garis batas pretensius, kebejatan orang-orang dalam 'The Counselor' dibungkus oleh Ridley Scott dalam kemewahan yang ekstravaganza. Ironi? Bisa jadi. Menyaksikan orang-orang berparas rupawan dalam balutan busana desainer, kacamata mahal dan bercakap-cakap di tengah restauran atau lobi hotel berasitektur mahal tentang kematian, uang, wanita, seks dan bisnis haram memang memberikan feeling yang tidak menyenangkan. Tapi, susah bagi kita untuk memalingkan wajah.
Saya setuju bahwa 'The Counselor' mungkin tidak mencapai potensi aslinya atau bahwa mungkin film ini akan menjadi lebih hebat jika menjadi novel. Tapi, ada sesuatu yang sangat magnetik ketika kita menjadi pengamat orang-orang yang mempunyai jiwa yang begitu gelap.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!