Menariknya, para pemilik tato sendiri kerap justru tak punya kesadaran akan tubuhnya. Seniman tato Refi Maskot memiliki ketertarikan mendalam akan tato dan budaya tradisi yang melatarinya. Mulai 2007 ia bertolak ke pedalaman di Nusantara dan menggali akar tato tradisi kita.
"Saya awalnya memotret masyarakat adat Siberut. Saya memotret secara keseluruhan dulu, pada saat itu orang lagi sibuk ngomong tentang global warming tapi enggak ada yang bicara masyarakat adat," paparnya dalam acara diskusi dan berbagi foto bertajuk 'Arus Balik Seni Tradisi Rajah Tubuh Indonesia' di Galeri Indonesia Kaya, Jumat (23/5/2014).
Dari Mentawai, Refi pun melaju ke belantara Borneo dan menelaah banyak hal dalam masyarakat adat Dayak. Ia memaparkan bahwa dengan kewajiban memilih salah satu agama yang diakui di negeri ini, jadi memberatkan masyarakat adat.
Membentangkan jarak kepada keyakinan mereka yang merupakan kepercayaan turunan nenek moyang. Tradisi tato pun seolah ikut tersapu. "Sampai sekarang tradisi itu memang dimusnahkan oleh pemerintah," ujar Refi.
Refi menjelaskan lebih jauh bahwa awalnya ia berpikir bahwa tato dalam masyarakat adat itu ada untuk menjadi kamuflase ketika mereka berburu hewan buruan. "Tapi ada yang lebih dalam bahwa ini bagian dari kepercayaan mereka dan ini memang wajib hukumnya buat mereka," ujarnya.
Inilah mengapa ada bentrok dan salah satunya harus tersisih dari muka peradaban bangsa. Agama modern, menolak bentuk-bentuk yang dianggap primitif, menyisirnya dengan banyak hukum yang tertulis dalam ayat.
Kondisi masyarakat adat semakin renta. "Itu permasalahannya ada agama yang masuk dan Indonesia enggak suka budaya yang seperti ini, jadi mereka terkena dampak di tahun 80-an," ujarnya.
(ich/mmu)