'Finding Srimulat': Napak Tilas Sebuah Daya Hidup

Jakarta - 'Finding Srimulat' dibuka sebagai sebuah film motivasi. 'Namaku Adi, dan aku punya mimpi," demikian narasi tokoh utamanya, yang diperankan oleh Reza Rahadian. Tapi, tidak. Film ini bukan sebuah kisah sukses, drama zero to hero. Ini adalah dokumentasi atas sebuah ziarah, perjalanan 'pulang' untuk napak tilas, menjenguk kembali etos, spirit, daya hidup, atau dalam bahasa modern sekarang "sikap sukses", yang bernama Srimulat.

Menggunakan pendekatan Srimulat sebagai sebuah seni lawak panggung, 'Finding Srimulat' dikemas dalam cerita yang sederhana, sesekali "sok serius", dan berakhir dengan "kekacauan". Sutradara Charles Ghazali, yang sepertinya merupakan penggemar fanatik Srimulat, tahu benar bagaimana mesti menampilkan grup lawak tradisional ini di layar lebar.


Tugas Charles jelas tak mudah. Di satu sisi tentu saja ia harus bisa mengambil hati penggemar lama. Di sisi lain ia juga harus memikirkan, bagaimana menarik perhatian anak-anak muda masa kini yang tak pernah mengalami zaman Srimulat manggung rutin di TVRI, maupun era Indosiar. Apakah Charles berhasil? Jawabannya relatif. Yang jelas, 'Finding Srimulat' mampu tampil tak sekedar sebagai klangenan, nostalgia ataupun obat kangen belaka.


Film ini berhasil menangkap 'roh' Srimulat sebagai tak sekedar grup lawak, melainkan, seperti telah disinggung di awal, daya hidup sebuah bentuk kesenian tradisional yang sudah nyaris tak punya tempat di era "opera Jawa" ala televisi.


Adi, yang diperankan Reza Rahadian tadi, sejak awal diperkenalkan kepada penonton sebagai penggemar Srimulat. Waktu kecil ia sering diajak ayahnya untuk menonton pertunjukan Srimulat di panggung. Kini, Adi dewasa adalah profesional di bidang event organizer. Malang baginya, di saat istrinya (Rianty Cartwright) hamil dan butuh persiapan dana untuk melahirkan, kantor tempatnya bekerja kolaps, karna ide-idenya dicuri kompetitor (diperankan dengan sangat bagus oleh Fauzi Baadila).


Tak mau membuat istrinya kepikiran, Adi memendam kegelisahannya sendiri setelah kehilangan pekerjaan. Saat mengemudikan mobilnya tak tentu arah, ia menemukan warung soto milik eks pemain Srimulat, Kadir. Setelah mampir dan berbincang, muncullah ide untuk mempertemukan kembali anggota-anggota Srimulat dalam sebuah pementasan reuni. Setelah berhasil meyakinkan Kadir, berdua mereka segera menyambangi Tessy.


Tessy yang kini sibuk dengan usaha bengkelnya pun berhasil dibujuk. Singkat cerita, setelah berhasil juga mengajak Mamik dan Gogon, mereka segera meluncur ke Solo untuk sowan ke Ibu Djujuk istri (alm) Pak Teguh pendiri Srimulat. Dalam pembicaraan awal, sejumlah kendala langsung terpetakan, salah satunya masalah dana. Apa solusi Bu Djujuk? Mengajak mereka untuk menenangkan pikiran, sambil sowan ke makam Pak Teguh, nyari inspirasi.


Di makam itulah sekilas Djujuk teringat kembali perjalanan Srimulat sejak awal berdirinya. Lalu, ia berkata, "Kita ini pernah susah, makan kayak kere. Tapi, juga pernah makan kayak raja-raja. Lha kok sekarang mau pentas aja bingung soal dana, itu apa?" Kata-kata Djujuk membesarkan hati Adi dan personel Srimulat lainnya, hingga membulatkan tekad mereka untuk meneruskan rencana bikin pentas reuni.


Tapi, kendala tentu tak hanya sampai di situ. Lewat kendala-kendala itu, dan bagaimana para Djujuk, Mamik, Tessy dan Gogon menyikapinya, film ini mengingatkan kita, apa dan siapa sebenarnya Srimulat itu. Penonton dibikin tertawa dengan lawakan-lawakan "klise" mereka, sekaligus dibuat menangis terharu oleh cara mereka memandang keberadaan Srimulat sebagai grup lawak tradisional yang pernah jaya.


Adegan demi adegan merupakan momen-momen yang manis, dengan suguhan akting yang luar biasa. Akting ciamik Mamik pernah kita lihat dalam 'King'. Tapi, pernahkah melihat Gogon dan Tessy dalam peran yang 'serius'? Obrolan Djujuk dan Reza Rahadian pada suatu malam sungguh natural, keduanya seolah-olah tidak sedang berakting. Adegan flashmob dengan iringan lagu 'Lenggang Puspita' di Stasiun Balapan Solo menjadi semacam kejutan kecil tersendiri yang terasa mewah.


'Finding Srimulat' telah melakukan tugasnya dengan baik: melacak kembali jejak sejarah Srimulat, tanpa membebani cerita kekinian yang membingkainya. Sejarah Srimulat muncul sebagai kilasan-kilasan yang lembut, dengan porsi yang pas. Problem Adi yang kehilangan pekerjaan pada saat harus mempersiapkan kelahiran anak pertamanya tetap tergarap dengan baik. Lengkap dengan kehadiran 'orang ketiga', teman sekantor (diperankan oleh Nadila Ernesta) yang naksir Adi, yang menambah unsur ketegangan dalam film ini.


Kemunculan Fauzi Baadila yang hanya sebentar sebagai musuh Adi, mampu membuat film ini mendadak menjadi sebuah drama eksyen yang mendebarkan. Dan, menonton Srimulat tanpa kemunculan sosok drakula, tentu terasa kurang lengkap. Film ini memberi semua hal yang diharapkan ketika seseorang membayangkan Srimulat. Sampai ke masa-masa ketika Tessy selalu memperkenalkan diri dengan nama, "Tessy Wahyuni Riwayati Hartati...alah, Kabul, Kabul!" Ha ha ha.


(mmu/mmu)