Kejutan tiba ketika kekasih Anggiat ternyata pergi menyusulnya. Alih-alih mendapatkan restu ibunya, ia malah ditentang. Rupanya Anggiat tak menyadari bahwa kekasihnya, Clarissa Saragih (Anna Sinaga) bermarga dekat dengannya, dan sesuai adat tak diperbolehkan untuk menikah.
Ibunda Anggiat pun mengadakan pertemuan keluarga untuk membahas masalah tersebut. Anggiat ngotot berjuang mempertahankan nasib cintanya dengan Clarissa, berdebat untuk dapat melanggar parna, peraturan adat yang melarang marga tertentu untuk menikah karena masih tergolong keluarga dekat. Pengacara hebat itu gagal membela dirinya sendiri melawan sebuah aturan yang tak tertulis di atas kertas.
Di saat Anggiat gundah, ia bertemu kembali dengan Uli Sinaga (Titi Rajo Bintang), teman semasa kecilnya yang juga merupakan pariban-nya, sepupu yang dapat dinikahi (atau orang Batak menyebutnya na boi dioli). Ibunda Anggiat, diperankan dengan amat baik oleh warga setempat, Reins Christiana Situmeang, ingin sekali Uli yang menjadi menantunya kelak. Menikah dengan pariban merupakan pernikahan ideal menurut adat Batak.
Uli diceritakan sukses menimba ilmu di Prancis dan kini mengabdikan dirinya untuk sebuah LSM yang berjuang menyelamatkan terumbu karang di sekitar Pulau Mursala dari ancaman nelayan yang tak bertanggung jawab. Uli seperti Anggiat, sama-sama menentang ketidakadilan lewat caranya masing-masing.
Rencana pernikahan Anggiat yang ditentang oleh adat itu sudah terdengar oleh seisi kampung. Uli pun mengetahui hal itu, dan rupanya ia masih menaruh hati kepada Anggiat.
Uli lalu berkenalan dengan Clarissa. Berlatar belakang air terjun Mursala, di atas perahu yang mengapung, Uli bercerita kepada Clarissa ihwal legenda asal muasal air terjun tersebut. Konon, Putri Runduk, seorang putri yang begitu cantik, menolak pinangan seorang raja yang ingin mengawininya. Menolak untuk menikah karena paksaan, ia melompat menceburkan dirinya ke laut. Air terjun itu adalah air mata para bidadari yang sedih atas kepergiannya.
Selesai bercerita, Uli kebingungan melihat Clarissa yang sibuk dengan ponselnya. "Kok kau dapat sinyal di sini?" Lalu Clarissa menimpali, "Iya, aku kan pakai Telkomsel. Jadi informasi penting tetap dapat aku terima." Momen yang dibingkai dalam shot yang indah itu tiba-tiba saja rusak. Sebuah pesan sponsor yang ditampilkan tanpa usaha kreatif membuatnya terdengar seperti iklan di radio, dan tentu saja itu sangat menggelikan.
Sepanjang film kita disuguhi gambar-gambar apik ala kartu pos hasil tangkapan kamera Rahmat Syaiful ('Pintu Terlarang', 'The Mirror Never Lies'). Hasil tangkapan kameranya bahkan sampai menjangkau ke dasar lautan, menampilkan keindahan biota laut di bagian terdalam Pulau Mursala . Tanpa arahan sinematografi darinya, film ini tak akan tampil seelok itu.
Namun, tak seperti Rahmat Syaiful yang berhasil memberi fokus pada kameranya, Deddy Tubagus sebagai penulis naskah rupanya tak jeli dan kehilangan fokusnya sehingga mengakibatkan blur pada beberapa jalinan kisahnya. Bila Anggiat sungguh-sungguh ingin mempertahankan Clarissa, penonton mestinya diberi suguhan adegan-adegan yang menunjukkan usahanya tersebut. Namun, yang tersaji malah untaian adegan kebersamaan Anggiat dengan Uli. Interaksi antara mereka ditampilkan dengan begitu penuh chemistry dan menggiring penonton untuk (mau tak mau) jatuh hati terhadap kedua tokoh ini.
Clarissa tiba-tiba menghilang dengan alasan belajar ke luar negeri. Tentu saja ini merupakan solusi gampangan. Penonton tak diberi alasan sedikit pun untuk bersimpati terhadapnya. Selain tak sememukau Titi Rajo Bintang, serta tanpa pesona yang cukup, Anna Sinaga yang juga bertindak sebagai produser melakukan debut aktingnya dengan kikuk sekali, dan karakternya jadi terkesan tak diinginkan, tak hanya oleh Anggiat tapi juga oleh si pembuat cerita. Maka kepergian Clarissa serta akhir hubungannya dengan Anggiat tak menimbulkan kesan emosional sama sekali.
Rio Dewanto cukup baik berperan sebagai pemuda Batak yang dirundung dilema, hanya saja aktingnya yang baik itu tak didukung oleh (lagi-lagi) naskah cerita yang mumpuni. Ia seolah ikhlas begitu saja untuk melupakan Clarissa, gadis yang sebelumnya dengan ngotot ia pertahankan di hadapan ibunya. Anggiat pun diberi label pengacara hebat dengan kasus di pengadilan yang sengaja dibuat tak rumit-rumit amat, kasus sendal jepit itu, sekaligus untuk memberi kesan bahwa film ini telah bersuara, menyatakan keberpihakan kepada kaum lemah yang selalu tersudutkan oleh hukum di Tanah Air.
Titi Rajo Bintang sekali lagi membuktikan ia aktris yang mumpuni dalam gelaran film berdurasi 100 menit ini. Ia terlihat natural melakoni perannya sebagai gadis Batak pesisir beraksen Melayu. Ragam bahasa pesisir memang mirip satu sama lain dengan penutur kata Melayu sepanjang pesisir Sumatera bagian barat itu. Titi tampil maksimal dan berhasil menarik simpati penonton hingga jatuh hati terhadap karakter yang ia perankan.
Sekedar untuk diketahui, asal muasal kata "Mursala" sendiri ada beberapa versi. Salah satunya, konon pada awal abad ke-7 para pedagang bangsa Arab datang ke Barus, kota persinggahan kapal-kapal Arab yang akan berlayar menuju Cina. Sebelum mereka masuk ke Barus mereka selalu melakukan sujud syukur di air terjun di ujung pulau terbesar di teluk Tapian Nauli itu. Kebiasaan itu berlangsung lama sehingga nelayan setempat menamakannya sebagai tempat orang-orang Mur (orang Islam Arab) shalat.
Umumnya masyarakat pesisir menganut agama Islam dan tak menabukan kawin semarga. Mereka pun memakai marga seperti umumnya masyarakat Batak, namun adat Batak hampir absen dalam keseharian hidup mereka. Rupanya isu inilah yang ingin direkonstruksi lewat 'Mursala'.
Melalui wawancara dengan sejumlah media, sutradara Viva Westi ('Rayya, Cahaya di Atas Cahaya', 'May') menyatakan bahwa "Mursala" adalah bahasa Batak yang berarti "jangan salah". Itu jelaslah sebuah pesan yang ingin disampaikannya dalam film ini. Masih ingat kisah legenda yang diceritakan Uli kepada Clarissa? Bahkan pada zaman dahulu pun sang putri lebih memilih untuk mati ketimbang menikah karena paksaan. Kematiannya adalah sebuah pemberontakan pada zamannya. Namun, legenda tinggallah legenda.
Kini di era ketika manusia sudah berhasil menemukan planet lain serupa Bumi yang dapat ditinggali, rupanya si pembuat film ingin memberi koreksi bahwa laku sang putri pada zaman dahulu itu tak perlu dicontoh, bahwa sudah semestinya orang Batak itu menghormati Parna dan tak perlu memberontak. Lewat ending-nya yang mengundang tafsir tadi, yakni "jangan salah", kita tahu kepada siapa film ini berpihak.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)