'Garuda Superhero': Batman Bercap Merah-Putih

Jakarta - "Di dunia ini tak ada seorang pun yang mengetahui saat dirinya menjadi superhero," kata sang jagoan bertopeng kita, Garuda, persis di awal film. Belum sempat memahami maksud dari ucapannya tersebut --yang mungkin terdengar filosofis-- saya keburu disuguhi adegan baku hantam, penghancuran kota, orang-orang berlarian ketakutan, tembak-tembakan penuh ledakan, juga serangan alien seperti di adegan akhir film 'The Avengers'. Di film ini, Garuda yang berkostum mirip Batman dengan cap bendera merah putih di baju zirahnya langsung menghajar habis-habisan para alien. Ketika ia berhasil mengalahkan bos dari musuh-musuhnya tersebut, semua alien yang tersisa lalu menyerah bertekuk lutut di hadapannya. Adegan pembuka yang keren untuk memulai sebuah film superhero, bukan?

Nyatanya, adegan-adegan tadi itu tak sekeren yang saya ceritakan. Saya lupa memberitahu bahwa sederet adegan aksi tersebut dibuat dengan menggunakan teknik CGI (Computer-generated imagery) yang amat payah. Membandingkannya dengan film-film superhero keluaran Marvel Studio jelas terasa tak adil, walau pun sang sutradara pernah sesumbar terang-terangan kepada media bahwa film besutannya ini sekelas produksi Hollywood. Tapi, mari kita anggap itu sebagai gertak sambal saja. Jangankan dengan film Amerika, membandingkannya dengan 'Cicak-man' (Yusry Abd Halim, 2006), film bertema serupa dari Malaysia yang konon serumpun dengan bangsa kita itu, 'Garuda Superhero' masih jauh di bawah kelasnya.


Setelah adegan pembuka yang bombastis, cerita berlanjut bahwa bumi kini terancam musnah dihantam meteor berbahaya. Otoritas keamanan negara kita memiliki senjata untuk menghancurkan meteor tersebut, namun ada komplotan penjahat super yang dipimpin Durja King (Slamet Raharjo, 'Pendekar Tongkat Emas') juga menginginkan senjata pemusnah meteor itu untuk digunakan demi kepentingannya sendiri. Di tengah chaos yang sedang terjadi, jagoan kita, Bara (Garuda saat ia tak bertopeng), malah lagi asyik bermeditasi menenangkan pikiran di pegunungan Tibet. Seorang kawannya lalu menjemputnya pulang, ia pun kemudian langsung berhadapan dengan komplotan Durja King, namun kalah. Rupanya, Bara belumlah menjadi Garuda sang superhero seperti yang kita saksikan di awal film sebelumnya. Ternyata, ceritanya mundur, dan kita sebagai penonton tak diberi petunjuk apa-apa soal ini --sebaris teks "1 tahun sebelumnya" atau "3 bulan sebelumnya" luput tak tertulis di atas layar.


Hampir 95% pengambilan gambar film ini dilakukan di dalam studio dengan latar bluescreen, untuk kemudian latar tersebut disulap oleh para ahli animasi hingga menghasilkan gambar latar yang lain yang semestinya dapat membuat kita terkagum-kagum. Namun, pemilihan bluescreen di zaman sekarang saja sudah tak lazim, sebab di negara yang peradabannya lebih maju dari kita, penggunaan bluescreen sudah lama tergantikan oleh greenscreen yang dianggap lebih menunjang seiring perkembangan teknologi kamera digital yang lebih bisa menangkap obyek berlatar hijau jauh lebih terang, dan meminimalkan color spill yang dapat tampak di hasil akhir. Semakin canggih teknik CGI yang digunakan, semakin tak terlihat color spill-nya bahkan bisa tak nampak sama sekali. Color Spill adalah refleksi warna dari latar belakang yang terletak pada sisi dari latar depan --inilah yang membuat karakter-karakter di film ini tampak tidak menyatu dengan latar di belakangnya.


Di film ini semua adegan dipenuhi color spill, dan itu sebenarnya masih bisa termaafkan bila saja para kru "ahli photoshop" film ini masih mau berusaha sedikit saja lebih niat menggarap kerjaan mereka. Banyak sekali latar tempelan berupa foto yang dijejalkan begitu saja, gambar bangunan, landscape, dan parahnya gambar-gambar itu tak beresolusi cukup tinggi hingga kita bisa melihat pixel-nya pecah dengan jelas.


Perkara teknik CGI amatiran yang dipakai film ini bisa saja saya abaikan; toh dengan terbatasnya budget dan kru yang kurang pengalaman di bidang ini sungguh bisa saya maklumi. Namun, apa lacur, skenario film ini, yang tentu saja tak membutuhkan teknologi canggih untuk menulisnya dibuat tanpa usaha sedikit pun. Persiapan 10 tahun untuk memproduksi film ini sungguh sebuah waktu yang teramat panjang, dan itu tak termanfaatkan dengan baik. Saya hampir tak percaya bahwa film ini memiliki skenario sungguhan. Jalan cerita yang lemah, set up yang gagal bahkan untuk sekadar menghadirkan babak pertama yang lumayan menarik saja tak tercapai. Karakter-karakternya karikatural, dan seakan semua itu belumlah terdengar seperti bencana, sampai sutradara --namanya X. Jo-- memperparah keamburadulan film ini dengan teknik penyutradaraan yang tak main-main acak-kadutnya.


Rizal Al Idrus sebagai jagoan kita gagal memberikan penampilan berarti, selain karena karakternya yang ditulis dengan amat tipis, kemampuan aktingnya juga di bawah pas-pasan. Bahkan aktor sekaliber Slamet Rahardjo terlihat menggelikan di film ini; kharismanya redup begitu saja karena tokoh yang ia mainkan teramat komikal tanpa kedalaman karakter sedikit pun. Entah rayuan apa yang dijanjikan pembuat film terhadapnya hingga ia mau ikut terlibat dalam proyek film ini. Agus Kuncoro sebagai anggota kepolisian, ah, Anda harus menyaksikannya sendiri; berompi anti peluru, kacamata hitam yang selalu menempel di wajahnya, juga syal yang selalu melingkar di lehernya. Melihatnya menembakkan senjata dan jumpalitan ke sana ke mari, alih-alih terlihat bak polisi jagoan yang macho dan gahar, ia malah jadi lebih mirip Deddy Dores, musikus kondang Tanah Air era 90-an itu.


Di era gempuran film superhero Hollywood penuh efek khusus yang luar biasa semacam 'The Avengers', 'Guardians of the Galaxy', 'Captain America' dan lain-lain, rasanya anak kecil di bawah umur tujuh tahun pun akan sulit menyukai film ini. Serial 'Bima Satria Garuda' yang tayang di televisi saban Minggu jauh lebih baik dan lebih bisa dinikmati ketimbang film ini. Menyaksikan 'Garuda Superhero' Anda bakal tak kuasa menahan geli. Tapi, geli bukanlah sesuatu yang menyenangkan; tertawa lepas barulah menyenangkan. Geli itu tertawa yang tertahan, rasanya persis seperti bersin yang tak jadi. Bayangkan selama menyaksikan film ini Anda bakal merasakan itu secara berkelanjutan sepanjang 85 menit. Hanya masokis terlatih yang sanggup menyaksikan film ini hingga tuntas.


Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia


(mmu/mmu)