Eka Kurniawan, 39 tahun, memang salah satu novelis yang karyanya paling ditunggu oleh publik pecinta sastra di Tanah Air. Novel pertamanya, 'Cantik itu Luka', terbit pertama kali pada 2002 oleh Penerbit Jendela, Yogyakarta mendapat sambutan luas dari kritikus dan masyarakat.
Pada 2004, novel tersebut dicetak ulang oleh Gramedia bersamaan dengan terbitnya novel kedua, 'Lelaki Harimau'. Sebelumnya, Eka telah memulai kiprahnya di panggung sastra Indonesia lewat kumpulan cerpen yang diterbitkan secara indie ketika ia masih kuliah di Fakultas Filsafat UGM, berjudul 'Corat-coret di Toilet' (2000).
Bersamaan dengan terbitnya 'Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas', Gramedia juga merilis ulang 'Corat-coret di Toilet'. Sambil menikmati dua buku barunya itu, Eka disibukkan dengan urusan persiapan penerbitan versi terjemahan Bahasa Prancis 'Lelaki Harimau'. Sementara, novel 'Cantik itu Luka' telah terlebih dahulu diterjemahkan dalam Bahasa Jepang pada 2006 dengan judul 'Bi Wa Kizu'.
'Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas' sendiri secara resmi telah meluncur ke pasaran mulai 19 Mei lalu. Senada dengan judulnya yang unik, novel ini menampilkan desain sampul yang juga menggelitik. Seekor burung yang lucu nan cantik, seperti sedang tidur, dengan bulu-bulunya yang warna-warni, di atas latar warna mera muda yang mencolok mata. Kata-kata yang menjadi judul novelnya "menyebar" di atas burung itu.
Bukan kebetulan jika burung ditampilkan sebagai bagian dari desain sampul novel tersebut. Novel ini memang bercerita tentang "burung", alias kelamin pria. Novel ini dibuka dengan kalimat yang mengejutkan, dan langsung bikin penasaran: Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati.
Penyataan itu menggambarkan sosok sang tokoh utama, Ajo Kawir, seorang jagoan kampung tukang berkelahi. Ia tengah bergelut dengan nasibnya, nyaris putus asa, gara-gara "burung"-nya yang mendadak tak bisa berdiri. Hal itu terjadi setelah ia mengintip dua orang polisi yang memperkosa perempuan gila di sebuah rumah kosong di kampungnya.
Penderitaan Ajo Kawir membuat sahabatnya, Si Tokek, merasa bersalah. Sebab, dirinyalah yang telah mengajak Ajo mengintip perempuan gila itu. Untuk menebus rasa bersalahnya, Si Tokek pun melakukan apapun untuk menyembuhkan Ajo. Iwan Angsa, ayah Si Tokek, juga memberikan perhatian besar bagi pulihnya "burung" Ajo, dengan melakukan berbagai usaha. Urusan "burung" itu kemudian menjadi petualangan tersendiri bagi Ajo, dan orang-orang di sekitarnya, yang pada akhirnya mengubah nasib mereka.
(mmu/mmu)