'Transformers: Age of Extinction': Babak Baru Robot-robot Michael Bay

Jakarta - Seharusnya, di dunia yang ideal, ketika semua orang berbicara jujur dan melakukan apapun yang mereka ucapkan, serial 'Transformers' sudah berakhir tiga tahun lalu dengan ending kota Chicago luluh lantak. Michael Bay pun, sang sutradara, kerap mengatakan bahwa 'Transformers: Dark of The Moon' adalah film pamungkas untuk mengakhiri trilogi 'Transformers'. Tentu saja ketika uang berbicara --tiga film menghasilkan 2,6 miliar dolar AS dari seluruh dunia, belum termasuk merchandising, video sales dan TV rights-- dan kenyataan bahwa Bay tidak bisa move on dari robot-robot keren ini, muncullah ide untuk membuat trilogi baru.

Dan, trilogi baru ini dimulai empat tahun setelah kekacauan Chicago. Bumi tidak lagi sama. Amerika berubah sikap. Yang tadinya ramah terhadap para robot, sekarang mulai paranoid dan mengimbau rakyatnya untuk segera menghubungi pemerintah jika mereka menemukan robot dalam bentuk apapun. Tentu saja, jagoan utama kita, Cade Yaeger (Mark Wahlberg) tidak peduli dengan itu semua. Ketika dia menemukan sebuah truk tua rongsokan yang ternyata adalah jelmaan Optimus Prime (disuarakan oleh Peter Cullen), Yaeger merasa senang sekali. Bahkan kalau pun putri semata wayangnya, Tessa (Nicola Peltz) berkata bahwa apa yang dilakukannya berbahaya, Cade tidak peduli.


Sampai akhirnya datanglah sekelompok militer berbondong-bondong mengunjungi rumah Cade dengan deretan mobil hitam seragam dan mengancam akan membunuh Tessa jika Cade tidak menyerahkan Optimus Prime. Ketika Optimus Prime akhirnya keluar dan menolong, Cade --dan juga penonton-- tahu bahwa hidup normalnya tidak akan pernah dia rasakan lagi.


Ditulis oleh Ehren Kruger yang menulis dua film 'Transformers' sebelumnya, 'Transformers: Age of Extinction' murni ditujukan bagi penonton yang tidak peduli dengan karakter-karakter manusianya. Michael Bay pun sadar dengan skrip ini. Dia tidak perlu repot-repot untuk menyuruh karakter manusianya berakting serius. Yang mereka butuhkan adalah berlari dengan minyak di seluruh permukaan kulit mereka dan tampil cool di tengah slow motion dengan ledakan dan mobil terbang di belakang mereka.


Kecuali Stanley Tucci yang tampak seru sendiri dan bersenang-senang, para pemain 'Transformers: Age of Extinction' tidak berhasil meyakinkan penonton bahwa hidup mereka penting dan sedang dalam bahaya. Mark Wahlberg --yang kemungkinan besar berhasil dihipnotis Michael Bay ketika syuting 'Pain and Gain' yang cukup menghibur-- memang berusaha keras untuk menghidupkan sosok Cade yang simpatik, bapak konvensional yang sekaligus seorang penemu. Namun itu tidak ada gunanya ketika karakter yang harus dihadapinya sekosong peluru para Decepticons.


Nicola Peltz, gula-gula pemanis yang menggantikan sosok Megan Fox, bahkan tidak bisa mengucapkan dialognya dengan meyakinkan. Apalagi merasuk ke dalam karakternya. Sebagai kembang gula, Nicola Peltz pun kurang hot jika dibandingkan dengan pemanis Michael Bay sebelumnya, Rosie Huntington-Whiteley. Jack Reynor yang menjadi kekasih Peltz juga sebelas-dua belas. Mereka berdua lebih enak dilihat jika mereka diam dan saling berciuman daripada ketika adu argumen dengan Wahlberg.


Salah satu daya tarik utama serial Transformers adalah komedinya. Di film pertamanya, Michael Bay berhasil menggabungkan unsur action dan komedi dengan seimbang. Faktor skrip dan talent menjadi salah satu alasan itu bisa berhasil. Dalam 'Age of Extinction', humornya menguap. Joke-joke yang diberikan Kruger patah-patah. Bahkan komedian keren seperti T.J. Miller --yang tahun ini begitu mencuri perhatian lewat serial HBO 'Silicon Valley'-- terasa seperti lewat begitu saja, tidak memberikan kesan yang mendalam. Sangat disayangkan mengingat Miller mempunyai bakat yang begitu luar biasa.


Meskipun begitu, Michael Bay membalasnya dengan robot-robot yang mencuri perhatian. Kalau manusianya membuat Anda tidak peduli, interaksi Autobots, Dinobots dan Decepticon jelas akan membuat Anda bersorak kegirangan. Mereka benar-benar menjadi bintang dalam film ini. Dibantu dengan CGI yang mantap, robot-robot ini terlihat begitu impresif. Mengingat itu adalah atraksi utama serial ini, Anda pasti akan tetap puas menontonnya. Tapi, jika Anda berharap 'Age of Extinction' setidaknya memiliki cerita yang meyakinkan, Anda lebih baik menonton ulang film pertamanya saja.


Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.


(mmu/mmu)