Merekam Amarah Sejarah, Kesaksian atas Sebuah Negeri

Jakarta - Novel 'Bandar' karya Zaky Yamani menyajikan cerita yang kompleks dengan alur yang berliku. Novel ini mengikuti perjalanan hidup tokoh bernama Dewi yang tumbuh di Wanaraja, Jawa Barat ketika sisa-sisa tentara DI/TII Kartosuwiryo masih bertahan di hutan. Lari dari perjodohan yang dipaksakan oleh ayahnya, Dewi kemudian menjalani kehidupan yang pahit, dari menjadi pelacur hingga bandar narkoba.

Kisah Dewi digulirkan dari sudut pandang Gopar, anaknya yang bercerita kepada anaknya lagi, Parlan. Dengan sedikit gambaran ini, tertangkap kesan bahwa 'Bandar' adalah novel yang berat. Benarkah?


"Bandar saya pikir cukup mudah dibaca. Kisahnya berpusat pada keluarga kriminal, dan saya mencoba menggali nilai-nilai kemanusiaan dari keluarga itu. Nilai-nilai yang lahir bersama aliran sejarah keluarga itu, yang kemudian menjadi alasan atau argumen kenapa keluarga itu menjadi keluarga kriminal," tutur Zaky Yamani, 36 tahun.


Walaupun dibilang "cukup mudah dibaca", namun menurut Zaky proses penelitian dan menulisnya jauh dari sederhana. "Selama sepuluh tahun saya tidak berhenti mengamati dan meneliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan novel ini. Saya berbicara dengan banyak pelaku kejahatan, melewatkan banyak malam di kantor polisi untuk melihat interaksi di tempat itu, ikut dalam beberapa operasi penangkapan yang berdarah-darah," tutur penulis yang dalam kesehariannya bekerja sebagai wartawan di Harian Pikiran Rakyat, Bandung itu.


Tak hanya itu saja. Karena 'Bandar' berlatar sejarah Indonesia antara tahun 1945 sampai Orde Baru, Zaky juga menemui orang-orang yang mengalami masa revolusi kemerdekaan, orang-orang tua yang terlibat dalam pemberontakan DI/TII berikut generasi penerus mereka, orang-orang komunis, serta orang-orang nonpartisan yang mengalami masa-masa sulit hingga tahun 1970-an.


"Saya meresapi amarah, harapan, dan terkadang, keputusasaan mereka," ujarnya. Satu lagi yang juga turun menyumbang proses terciptanya novel 'Bandar' adalah pengalaman hidupnya sendiri sejak masa kecil di sebuah wilayah di Bandung yang terkenal dengan kegiatan kriminalnya.


"Banyak kisah dari masa kecil saya yang saya adaptasikan ke dalam novel ini. Kekerasan, kematian, aksi-aksi kejahatan, serta gambaran perkampungan di wilayah urban dari masa sebelum kumuh sampai menjadi sangat kumuh," kata penulis yang juga telah menghasilkan dua buku non fiksi, 'Kehausan di Ladang Air' dan 'Komedi Sepahit Kopi' itu.


Draft awal 'Bandar' selesai dalam waktu sekitar satu bulan di awal 2007. Draft itu kemudian mengalami bongkar-pasang berapa kali, hingga akhirnya Zaky meninggalkannya. "Baru pada 2009 atau 2010 saya mulai lagi melakukan revisi dan mengirimkan naskah itu dari satu penerbit ke penerbit lainnya, untuk mendapatkan berbagai penolakan. Hampir setiap mendapat penolakan dari penerbit, naskah itu saya revisi lagi, walau tidak semua penerbit memberikan masukan," kenangnya.


Selama masa revisi antara 2009 sampai 2013, Zaky menemukan kesadaran baru atas novelnya sendiri. "Ternyata novel ini memiliki beberapa makna lain bagi saya pribadi. Kisah di novel ini tentu saja fiksi, tetapi bagi saya kisah yang saya tulis sebenarnya sebuah kesaksian panjang, tentang apa yang saya lihat, saya dengar, saya rasakan, dan saya pikirkan tentang negeri ini dan orang-orangnya, sejak saya kecil sampai dewasa," simpulnya.


(mmu/mmu)