Jual Vinyl di Pasar Tradisional Agar Tak Ekslusif

Jakarta - Bicara sebuah toko konsep yang menjual rekaman fisik maupun merchandise band yang langka, hari-hari ini di Jakarta maupun Bandung bisa dibilang cukup menggembirakan. Ketersediaan barang ada, meskipun dibanderol dengan harga yang tinggi. Efeknya, komoditas ini membentuk segmen sendiri bagi konsumennya. Dengan latar situasi seperti itulah, Sub Store yang merupakan toko sejenis hadir untuk mendobrak kesan ekslusif tadi.

Pasangan pemilik toko yang buka dua bulan lalu itu, Arya Anggadwipa dan Intan Anggita Pratiwi berujar bahwa dengan membuat sebuah toko yang berada di dalam pasar tradisional, mereka berharap barang-barang seperti vinyl, kaset, CD, komik, dan lainnya itu tak lagi eksklusif.


"Pemikiran kakak gue juga sama, dia enggak mau barang-barang seperti ini dan vinyl itu jadi eksklusif, yang bisa beli cuma orang tertentu saja," jelas Arya kepada detikHOT di acara Music Market, di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan pekan lalu.


Kakak Arya yang tinggal di Jepang punya peranan penting dalam keberlangsungan Sub Store karena ia yang berburu barang-barang bekas yang unik di Negeri Sakura itu, untuk dikim ke Jakarta dan dijual di Sub Store. Biasanya, harga piringan hitam yang langka itu kisaran Rp 600 ribu hingga Rp 2,5 juta.


Arya dan Intan menurutkan, di tokonya mereka menjual berbagai vinyl dengan kisaran harga yang terjangkau mulai dari Rp 90 ribu. "Asal kita sudah untung, ya enggak usah sampai habis-habisan untungnya," ujar mereka kompak.


Di tokonya yang terletak di lantai dua pasar Santa, Jakarta Selatan, pasangan kekasih ini pernah menjual vinyl dari band The Rolling Stone yang dianggap langka. Harganya di forum jual beli seperti Ebay maupun Amazon mencapai Rp 2,5 juta. Mereka melepasnya seharga Rp 250 ribu. Begitu juga dengan vinyl Yoko Ono dan John Lennon yang bersampul pose bugil mereka, dilepas dengan harga yang masih "masuk akal".


"Salah satu momen pecahnya yang bikin kita happy banget itu waktu toko kita baru beberapa minggu buka, ada rombongan anak-anak SMA yang datang. Bayarnya yang pakai kumpulan recehan gitu. Biar regenerasi gitu, yang beli bukan yang tua-tua saja," jelas Arya.



"Akhirnya rumus kita buka di pasar jadi nyambung dengan visinya. Di pasar juga supaya harganya masuk, kan kalau di tempat yang ekslusif juga sewanya sudah mahal banget," tambahnya. Toko yang bersebelahan dengan sebuah kedai kopi yang juga berkonsep bernama A Bunch of Coffee Dealers itu hanya buka pada hari-hari tertentu, yakni Selasa, Sabtu dan Minggu.


(ass/hkm)