Eka Kurniawan dan Dua Tradisi Penulisan Novel

Jakarta - Eka Kurniawan adalah nama yang telah menjadi fenomena dalam khasanah sastra Indonesia, khususnya dalam penulisan novel. Karya terbarunya, 'Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas', yang terbit 10 tahun setelah novel keduanya, 'Lelaki Harimau' (2004) segera menjadi sensasi tersendiri di tengah sepinya penerbitan novel "serius" di Tanah Air.

Seolah memberikan "pengantar" bagi terbitnya novel tersebut, yang telah beredar di pasaran mulai 19 Mei lalu, Eka menulis di blog-nya tentang dua tradisi besar dalam bercerita atau menulis novel, dan dalam kesusastraan secara umum. Pandangan Eka tersebut setidaknya menjelaskan, mengapa ia menulis novel dengan gaya dan struktur serta cara ucap seperti yang tertuang dalam 'Seperti Dendam'.


Dia tradisi besar yang dibayangkan Eka itu, pertama, tradisi menulis dengan wadah; kedua, tradisi menulis yang bebas mengalir. "Saya tak yakin apakah istilah itu tepat atau tidak, tapi mari kita membayangkannya," ajak Eka.


Tradisi pertama, menurutnya, berawal atau berkembang dipengaruhi oleh tradisi panggung. Ada ruang terbatas, ada durasi waktu, dan ada penonton yang dikondisikan dalam situasi tertentu: duduk, memandang panggung dari sudut pandang yang tetap. Dengan kata lain, ada ruang-waktu yang secara ketat membatasi sejauh mana cerita akan disajikan.


"Saya melihatnya, tradisi ini menciptakan satu aturan-aturan dramatik yang sangat ketat. "Aliran ini memperhatikan dengan ketat kapan sebuah karakter harus muncul, kapan permasalahan ditampilkan, di bagian mana konflik memuncak. Saya bisa menyebut, Hemingway berada di tradisi ini," tutur Eka.


Sedangkan tradisi kedua, lanjut Eka, berawal dan berkembang melalui tradisi mendongeng, yang mengasumsikan bebas ruang dan waktu. Sebagaimana layaknya dongeng, ia bisa diceritakan di mana dan kapan saja. "Nyaris tak ada batasan durasi, bisa bersambung bermalam-malam layaknya Syahrazad di Hikayat Seribu Satu Malam," terang Eka sambil menyebut contoh.


"Karena itu aturan-aturan ketat tangga dramatik tidak dikembangkan di sini. Yang berkembang adalah justru teknik hipnotis," sambungnya.


Permainan kata, bunyi, berkembang di aliran ini, yang bebas-merdeka selama pendongeng yakin bisa mempertahankan pendengarnya. Di aliran ini orang bisa menemukan kisah yang semena-mena, novel yang tak ke mana-mana, alur yang maju-mundur bertumpuk-tumpuk. "Ada kesan aliran ini seenak udel sendiri, tapi saya rasa kesusastraan tak akan berkembang banyak tanpa mereka," kata Eka.


Eka menerbitkan novel pertamanya pada 2002, berjudul 'Cantik itu Luka'. Setelah 10 tahun lalu merilis novel keduanya, 'Lelaki Harimau', pada 19 Mei 2014 secara resmi meluncurlah noverl terbarunya, 'Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas'. Nah, setelah membaca novel tersebut, Anda pun bisa menebak, Eka Kurniawan berada di aliran yang pertama atau kedua tradisi penulisan novel yang dibayangkannya tadi.


(mmu/mmu)