"Saya menangkap dengan pementasan ini, makna dari tradisi akan diteruskan dan dihidupi," jelasnya pada (14/04/2014) di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Dalam pemaparannya, Romo Mudji menyayangkan bahwa selama ini figur Drupadi kurang ditelusuri lebih jauh. Secara umum ia lebih dikenal sebagai istri dari kelima Pandawa, atau sebagai istri Yudistira.
"Namun sosoknya sebagai rahim juga pelindung ketika para Pandawa kalah judi dan menjadi korban dari kekerasan angkara Kurawa. Ia tampil dalam aura ibu, pembela yang tangguh, dan rela jadi tumbal demi meruwat martabat yang ingin disobek-sobek oleh Dursasana, dengan menyeret gelungnya atau sanggulnya."
Sifat yang sarat budi pekerti dan memiliki nilai etika tinggi dalam kisah hidup Drupadi selama mengayomi lima Pandawa, merupakan salah satu esensi yang ingin disampaikan dari pementasan ini.
"Drupadi bisa bertindak di tingkat kekuasaan, dalam bahasa feminisme adalah laki-laki itu sendiri. Dalam sebuah adegan para laki-laki justru diam dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya," kata Romo Mudji. Ada sisi spiritual dari Drupadi, baik sebagai rahim maupun sifatnya yang rela berkorban.
Jiwa besar dan ketangguhan yang dimiliki Drupadi, dibahasakan oleh Romo Mudji sebagai sisi spiritual. Ini juga merupakan perspektif yang jarang diangkat oleh khalayak umum ketika ingin menuturkan atau bahkan berkarya di seputar dunia Drupadi.
"Sisi spiritual Drupadi sampai sekarang kurang dikenal dan hanya dianggap sebagai istri Yudistira, betapa kami para lelaki harus berani mengakui bahwa kami terlahir dari rahim perempuan yang berani mempertaruhkan nyawa, dan menjalankan tugas melahirkan," jelasnya.
"Di sanalah wayang Jawa menaruh Drupadi sebagai sumber inspirasi, sebagai rahim-rahim kehidupan yang teguh, yang berani menantang kesewenangan dan kekuasaan."
(ass/utw)