ist.
Banyak emosi yang dicampur aduk di sini. Sesaat Anda akan menjadi liar mengikuti anggukan kepala. Tapi, kemudian Anda akan dihancurkan dengan emosi dan haru yang tidak terperikan. ‘Here we come. This is our music and we will bleed for this.’
Judul film ‘We Will Bleed’ ini sebenarnya diambil dari judul lagu Burgerkill sendiri di album ketiga mereka. Film ini mengisahkan tentang perjalanan, perubahan dan kemenangan sebuah band hardcore asal Ujung Berung, Bandung, Jawa Barat itu selama 15 tahun berkarya.
Burgerkill berdiri pada 1995, digawangi oleh Ebenz (Gitar), Kimung (Bass), Kudung (Drum) dan Ivan (Vokal). Formasi tersebut bertahan sampai tiga tahun kemudian. Dengan semua semangat dan keterbatasan mereka berhasil merilis album pertamanya bersama label Riotic Records, yang bertajuk ‘Dua Sisi’ pada 1998.
“Saat itu memang belum banyak label metal atau hardcore di Bandung, salah satu yang sudah punya nama adalah Riotic Records ini,” ujar sang gitaris, Ebenz menjelaskan pilihannya.
Tidak berarti semuanya lancar; terjadi bongkar pasang personel setelah album pertama itu. Sampai 2003 formasi baru Burgerkill adalah Ivan (vokal), Ebenz (Gitar), Agung (Gitar), Andris (Bass) dan Toto (Drum).
Setelah istirahat dari rangkaian promosi di Bandung dan Jakarta, pada 2003 itu Burgerkill telah segar kembali untuk merilis album kedua mereka, ‘Berkarat’. Ide cemerlang yang mucul membuat mereka menginginkan sebuah single yang dinyanyikan berduet dengan Fadly ‘Padi’.
Sambutan baik dari Fadly akhirnya melahirkan single fenomenal dan cukup jadi perbincangan di kalangan musisi, berjudul ‘Tiga Titik Hitam’. Seakan membawa keberuntungan, sewaktu proses ‘Tiga Titik Hitam’ Burgerkill dilamar oleh Sony Music Indonesia untuk melanjutkan proses produksi album keduanya bersama-sama.
Tidak ada kerja keras tanpa hasil. Pada 2004 Burgerkill mendapatkan penghargaan AMI Awards sebagai pemenang kategori ‘Best Metal Production’. Memasuki tahun 2005 langkah mereka mulai tertata dengan rapi, yakin pada recananya untuk merilis album ketiga tahun itu. Tapi, kemudian masalah kembali muncul: mereka putus kontrak kerjasama dengan Sony.
Tak hanya itu, keluarnya drummer andalan mereka menjadi problema baru. Cepat mengambil langkah, anak-anak muda Ujung Berung itu melakukan manuver dengan mendirikan label sendiri ‘Revolt Records’ untuk merekam album ketiga, berjudul ‘Beyond Coma and Despair’.
Tepat dua minggu setelah konser promo album itu, sang vokalis Ivan Scumbag harus menyerah pada penyakit yang sudah dilawan hampir di seluruh sisa hidupnya. Meninggalnya Ivan tak pelak membuat kesedihan mendalam. Sebuah konser tanpa vokal diselenggarakan untuk mengenangnya.
Duabelas tahun bersama–sama tidak mudah untuk Burgerkill mencari ganti Ivan. Tapi, itu harus segera dilakukan mengingat sebuah konser tur Jawa dan Bali telah siap digelar. Audisi kemudian memilih Vicky, seorang fans yang kemudian didaulat menjadi vokalis utama. Bersama formasi baru dan terakhir Vicky (vokal) Ebenz (gitar), Agung (gitar), Ramdan (bass) dan Andris (drum), Burgerkill mencoba peruntungan dengan menjadi pengisi soundtrack di dua film horor Indonesia, yaitu 'Malam Jumat Kliwon' dan 'Hantu Jeruk Purut'.
Tahun 2007 menjadi awal masa keemasan Burgerkill. Bongkar pasang personel dan kematian telah dilalui, saatnya menikmati hasil kerja keras. Kiprah internasional pun terbuka, ketika mereka menjadi band pembuka konser The Black Dahlia Murder (2007) dan As I Lay Dying (2008) di Jakarta. Itu membuka jalan bagi Burgerkill setahun kemudian untuk menggelar konser tur bertajuk ‘Burgerkill Australian Tour 2009’.
Tidak berselang lama dari tur Australianya, Burgerkill mendapatkan undangan spesial untuk menjadi salah satu band dalam festival musik ‘Soundwave 2009’. Ini adalah salah satu festival musik besar di Australia yang menghadirkan musik rock, punk dan metal.
Perjalanan 15 tahun Burgerkill sampai 2010 ditutup sangat manis dengan tampilnya mereka di festival musik terbesar di Australia, ‘Big Day Out’. Didaulat bermain di festival musik sebesar itu bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan.
(fk/mmu)