Kemungkinan besar hanya karena nama Ben Affleck yang harusnya memenangkan sutradara terbaik (Affleck menang di DGA dan BAFTA) absen secara misterius dalam kategori tersebut, dan Oscar ingin membalasnya.
Tapi, bagaimanapun layak memenangkan Oscar atau tidak, 'Argo' merupakan sebuah thriller politik yang menegangkan, menghibur dan menunjukkan bahwa Anda bisa saja membenci Ben Affleck sebagai aktor tapi Anda akan menyukainya ketika dia berada di belakang layar.
Iran 1979. Lebih dari 50 staf Kedutaan Amerika di Teheran ditahan oleh militan Iran. Enam orang dari mereka berhasil melarikan diri dan bersembunyi di rumah duta besar Kanada, Ken Taylor (Victor Garber). Keadaan lebih genting daripada yang bisa dibayangkan. Orang-orang mengamuk, kisruh dan tentara-tentara Irak berkeliaran di bandara menangkapi siapa saja yang mereka curigai sebagai warga Amerika. Kadang senjata api ikut terlibat.
Di ujung dunia lain, CIA berpikir keras untuk mengembalikan enam orang tadi ke tanah Amerika hidup-hidup. Agen Tony Mendez (Ben Affleck) mempunyai ide superngawur untuk menyelamatkan mereka. Mendez berencana membuat film sci:fi palsu dan pergi ke Iran. Ide itu awalnya ditolak mentah-mentah oleh sang bos, Jack O’Donnel (Bryan Cranston). Tapi toh akhirnya rencana itu berjalan juga.
Bersama-sama mereka segera merekrut make-up artist ternama, John Chambers (John Goodman) dan produser kelas kakap, Lester Siegel (Alan Arkin) untuk membuat rumah produksi gadungan. Dan proyek pengerjaan film palsu demi menyelamatkan nyawa manusia itu pun dimulai.
Lupakan dulu kenyataan bahwa 'Argo' adalah film terbaik Oscar tahun ini. Mari kita fokuskan bahwa 'Argo' adalah salah satu film thriller yang bagus. Ini semua berkat, tak lain dan tak bukan, tangan dingin Affleck yang sudah semakin ahli dalam penyutradaraan. Setelah 'Gone Baby Gone' dan 'The Town', Affleck berhasil mengatur emosi penonton sesuka hatinya.
Satu jam pertama kita diajak bersenang-senang dengan persiapan pembuatan film palsu itu. Kelakuan John Goodman dan Alan Arkin yang kharsimatik menjadi highlight besar pada paruh pertama film ini. Keduanya menampilkan permainan yang berkesan.
Barulah pada paruh kedua Ben Affleck tidak membuang sedikit pun waktu yang ada. Anda akan mencengkeram kursi dan menahan napas atas ketegangan tak kunjung usai sampai end credits bergulir. William Goldenberg sebagai editor, Alexandre Desplat sebagai komposer dan Rodrigo Pieto sebagai sinematografer bersatu padu memberikan satu jam paling menyesakkan, kalau tidak mau dibilang paling berkesan.
'Argo' memang merupakan mesin patriotisme Amerika yang klasik. Lengkap dengan adegan bendera Amerika berkibar secara slow-motion dan lain sebagainya. Dan, terlepas dari kontroversi Oscar kemarin, film ini merupakan tontonan yang menghibur dan jelas menegangkan. Menikmatinya di layar lebar di tengah kegelapan adalah satu-satunya cara untuk menontonnya.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)