'Hasduk Berpola': Patriotisme yang Mengada-ada

Jakarta - Siang itu di sebuah pertambangan minyak tradisional di Bojonegoro, terlihat beberapa orang sedang bekerja, mendulang dari sumur-sumur. Kamera menangkap seorang lelaki tua yang terlihat kesusahan memikul embernya, berjalan gontai. Dan sesaat sebelum adegan berganti, kita melihat pak tua itu terjatuh bersama pikulannya.

Cut to: anak-anak berseragam SD yang tengah pulang sekolah, berlarian dengan riangnya di jalanan kampung. Untaian adegan tadi membuka film yang digarap oleh Harris Nizam ('Surat Kecil Untuk Tuhan') ini dengan sangat cantik. Kita lalu dikenalkan pada tokoh utama, Budi --diperankan dengan cukup baik oleh Bangkit Prasetyo.


Budi anak yang nakal dan senang berkelahi. Di rumahnya yang sangat sederhana, ia tinggal bersama ibunya, Rahayu (Iga Mawarni), adik perempuan satu-satunya, Bening (Fay Nabila), dan kakeknya, Masnun (Idris Sardi), yang tak lain si pak tua dari tambang minyak tadi.


Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Rahayu bekerja di sebuah warung makan. Dan di akhir hari ia selalu membawa pulang sisa kuah rawon dari warung yang ditungguinya itu untuk makan malam bersama di rumah. Sementara itu Masnun baru saja memutuskan untuk berhenti bekerja di tambang minyak karena fisiknya yang tak lagi mendukung. Ia sudah uzur.


Seakan keadaan itu kurang menyedihkan dan memberi konflik, Masnun yang pernah berjuang demi kemerdekaan bangsa itu tak dapat mencairkan uang pensiunnya karena sesuatu hal. Kini ia lebih memilih untuk menghabiskan sisa harinya sebagai penambal ban, dan bermain biola saat malam tiba di teras rumah. Lantunan dari dawainya begitu menyayat hati, seolah ia sedang meratapi diri.


Saya yang menyaksikannya dari kursi bioskop hampir saja memberi simpati. Dan itu terjadi sesaat sebelum adegan berganti. Budi berulah di sekolah. Ia terlibat perselisihan dan adu siapa yang paling hebat dengan Kemal. Sebagai ajang pembuktian, Budi berniat mengalahkan Kemal dalam kegiatan pramuka, ekstrakurikuler yang selama ini tak pernah ia tekuni.


Hanya satu hal yang merintangi usahanya, ia tak memiliki hasduk, atribut wajib, kain segitiga berwarna merah-putih yang melilit leher serupa dasi. Dan, rupanya naskah film ini (ditulis bersama oleh Bagas D Bawono dan Kirana Kejora) tak punya cukup cerita untuk dituturkan selain serentetan konflik yang dibangun sebagai usaha yang dilakukan Budi untuk mendapatkan barang tersebut.


Film ini berlama-lama memperlihatkan segala rintangan yang menghadang Budi untuk mendapatkan hasduk, segala rintangan yang begitu tampak mengada-ada. Pada satu usahanya, Budi sampai bekerja serabutan sebagai kuli panggul di pasar dan berhasil mengumpulkan Rp 15 ribu. Itu setara dengan harga hasduk yang sempat ia tanyakan pada seorang pemilik toko.


Namun, pada saatnya ia kembali ke toko itu untuk membelinya, kini harga hasduk itu menjadi Rp 17.500. Tentu saja duit Budi kurang. Tapi, ia tak kembali ke pasar untuk mengangkat-angkat barang lagi demi mendapatkan uang lebih. Dan, percayalah, bila saya teruskan serangkaian kejadian yang mengada-ada dalam film ini, niscaya ulasan ini tak ubahnya sebuah sinopsis panjang, dan itu akan terdengar mengada-ada pula.


Pada paruh akhir film, ada sisipan cerita tentang Masnun yang semasa perang tak berhasil mengibarkan bendera merah-putih di atap Gedung Oranje, Surabaya. Ia begitu tak bernyali, memilih menghindari berondongan peluru musuh, dan bersembunyi dalam parit bersama bendera dalam dekapannya. Kini, di era yang sama dengan Agnes Monica 'go internasional', Budi sebagai cucu Masnun berusaha mengibarkan bendera itu di atap gedung yang dulu dulu tak kuasa dicapai oleh kakeknya.


Di penghujung film, serentetan kejadian yang mengada-ada itu mencapai puncaknya, menjadikannya parodi patriotisme yang menggelikan. Bicara soal patriotisme, akan lebih bermakna bila kita disodori cerita tentang Masnun yang berusaha mengurus uang pensiunnya yang bermasalah dan mencari biang keladi penyebabnya, misalnya, ketimbang cerita pengibaran bendera seremonial.


Bagian terbaik dari film ini adalah lima menit adegan pembukanya, dan betapa film ini berhasil mengenalkan kata "hasduk" ke khalayak ramai sebagai ganti dari "kacu" --istilah yang sudah sangat akrab di telinga kita. Dan, persis seperti judulnya, 'Hasduk Berpola', ini adalah pola lain dari tawaran-tawaran cerita film nasional masa kini yang menjual patriotisme semu belaka. Tak lebih dari itu.


Shandy Gasella, pengamat perfilman Indonesia


(mmu/mmu)