'Chaos and the Calm' James Bay: Gitar dan Lagu-lagu Cinta

Jakarta - Industri musik selalu memuja talenta besar yang mengalir di darah anak muda; mereka sudah punya Tom Odell, Jake Bugg, Hozier dan George Ezra. Tapi, sekarang orang-orang mulai menaruh perhatian kepada James Bay, 24 tahun, asal Hitchin yang tengah menantang dunia pop dengan album debut 'Chaos and the Calm'.

Direkam bersama dengan kolaborator lama King of Leon, Jacquire King, album 'Chaos and the Calm' memberikan ruang "kekacauan" dan "ketenangan" perasaan secara bersamaan lalu diabadikan ke dalam tema folk-pop akustik dan power pop-rock. Tracklist di dalamnya merupakan gabungan dari 3 EP terdahulu, 'The Dark of the Morning', 'Let It Go' (2014), dan 'Hold Back The River' (2014); dua judul terakhir dijadikan James sebagai single di album internasionalnya kali ini.


Jika 'Hold Back The River' adalah pengingat masa lalu paling catchy yang pernah ditulis James, maka 'Let It Go' menyiratkan perjuangan mempertahankan cinta di tengah perubahan yang terjadi. Penuh irama gitar mendesak yang khas, salah satu keuntungan James belajar menjadi gitaris sebelum menjadi penyanyi.


Dalam 'If You Ever Want to Be in Love' James berusaha untuk mendaur ulang elemen soul ke dalam musik miliknya agar tidak terdengar seperti imitasi Elton John. Selain seorang penyanyi, ia juga penulis lagu yang patut diperhitungkan (butuh waktu 2 tahun untuk menciptakan 'Scars', tentang sang kekasih yang pindah ke negara lain.)


Salah satu keahlian James adalah beraksi one-man-show; hanya dia dan gitarnya (dengan tambahan raungan serak dan tepuk tangan) pada 'When We Were on Fire' dan 'Incomplete'--"That the world will turn and we both will learn how to be/ To be incomplete"-- seperti setengah Ed Sheeran dengan wajah yang jauh lebih tampan. Itu jauh lebih keren dibandingkan menunjukkan agresi yang ada pada 'Best Fake Smile' atau 'Colide'.


Dari awal 'Craving' telah membuka album ini dengan riff rapat tentang kerinduan untuk mengapai ambisi yang lebih besar namun terperangkap di dalam rutinitas kota kecil. Sejak remaja, pikiran di balik topinya selalu melayang membayangkan bagaimana lagu-lagunya dapat membisukan para pemabuk di bar-bar London. Dan kini bukan hanya London, tapi dunia telah mendapatkan seorang pahlawan baru, dengan topi hitam, wajah bak model, menenteng gitar Epiphone Century 1966 dan menyanyikan lagu-lagu cinta.


Rendy Tsu (@rendytsu) saat ini bekerja sebagai Social Media & Content Strategist. Selain aktif sebagai penulis lepas, ia juga pernah menjadi Music Publicist di salah satu perusahaan rekaman terbesar di Indonesia.


(mmu/mmu)