Mereka yang menyebut diri sebagai komunitas Rumah Angklung ini biasanya berkumpul di pusat perbelanjaan Pasaraya Grande Blok M lantai tiga, Jakarta Selatan.
Jangan salah, mereka bukan sekadar anak nongkrong yang bermain alat musik bambu karena iseng semata. Selain rutin belajar dan mengajari anggota baru untuk memainkan alat musik bambu, mereka juga diam-diam sudah punya prestasi berkelas internasional.
Pada bulan Juli tahun 2012 lalu, komunitas Rumah Angklung berhasil meraih predikat penampil terbaik kedua setelah Jepang pada ajang Parade Budaya Dunia di Busan, Korea Selatan. Ajang ini sendiri tak main-main karena diikuti oleh 137 negara.
Rumah Angklung bertekad kedepannya bisa membawa nama alat musik bambu di ranah internasional.
Rumah Angklung didirikan pada 12 Desember 2011 oleh M.Fadjar Tri Tjahjono, Arif Syarifuddin, dan Putri.
"Awalnya tempat kumpul kita-kita yang suka main angklung, lama-lama jadi komunitas dan buka kursus musik," kata Fadjar, kepada detikHOT.
Kini anggota komunitasnya mencapai 100 orang. Mereka berlatih setiap hari Rabu dan Sabtu. Materi yang diajarkan bukan hanya soal angklung, tapi alat musik bambu lainnya yaitu arumba, bass pukul, seruling, dan sebagainya.
Selain itu, kata Fadjar, mereka pun diajarkan not balok. "Anak-anak muda ini masih fresh otaknya untuk hafal not balok. Jadi dasarnya itu, rata-rata sudah mengerti tapi lebih tekankan panjang dan pendeknya," katanya.
Selain itu, anggota Rumah Angklung juga diajarkan pengetahuan mengenai alat musik bambu. Serta bagaimana mengaransemen lagu-lagu yang sedang populer sekarang ini.
Menurutnya, meski alat musik yang dimainkan tradisional namun lagu-lagunya harus yang familiar di telinga generasi muda. Terbukti ketika pentas di Festival Musik Bambu Nusantara ketujuh, mereka memainkan beberapa lagu yang sedang hits.
Seperti lagu 'Give Me a Reason' yang dinyanyikan Pink, 'Sepasang Mata Bola', 'Minueto' versi Rumah Angklung. Serta yang tak kalah populer adalah aransemen lagu 'Buka Dikit Joss' yang dinyanyikan Juwita Bahar.
Bagi pemula yang ingin belajar cukup membawa diri saja dan membayar iuran sekitar Rp 5 ribu untuk kas komunitas. Di Rumah Angklung juga tak ada batasan umur. Syaratnya hanya mau belajar. "Insya Allah seminggu sudah bisa," kata Fadjar.
Menurut Arif, pendiri Rumah Angklung lainnya yang pernah bekerja di Saung Angklung Mang Udjo, Bandung, alat musik angklung memiliki filosofi tersendiri. "Angklung itu gotong royong, sangat Indonesia sekali, dan yang paling terpenting adalah menghargai perbedaan," ujarnya.
Ketika bermain angklung, kata Arif, tak bisa dijalankan sendirian. Untuk mendapatkan harmonisasi yang bagus, harus dimainkan bersama-sama sekitar 30 orang.
Rumah Angklung juga ingin mengenalkan jika sanggar bermain alat musik bambu tak harus berada di kampung, beratapkan bambu, dan di pelosok kota. Justru lokasinya bisa di tengah kota, dan di tempat pusat perbelanjaan.
"Dengan catatan, kita tetap tak meninggalkan akar kebudayaan Indonesia. Itulah tujuan kami untuk melestarikan alat musik bambu," ujar Arif.
(utw/utw)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!