Film ini menjadi seru ketika mencoba menciptakan mood-nya, membuat suasana yang tenang dengan memberi banyak lelucon. Pembuatnya seolah ingin agar tema besar film ini --sesuatu yang tabu tentang diskursus bunuh diri-- jadi terasa akrab, ringan untuk diperbincangkan. Dan, film ini memang berhasil melakukannya.
Saya memilih untuk (mau tak mau) membeberkan sedikit jalan ceritanya, namun tetap menjaga kerahasiaan adegan pamungkas film ini. Bila Anda belum menontonnya, jangan khawatir, ulasan berikut ini tak kan memberikan spoiler yang akan mengganggu kenikmatan Anda ketika nanti menontonnya.
Acid (Astrid Tiar, 'Badai di Ujung Negeri') pada suatu malam keluar rumah secara diam-diam. Ia menyusuri jalanan kota hingga tersudut di sebuah jembatan jalan raya. Dengan mata sembab, sambil terisak Acid nekad melompat. Entah sial atau justru beruntung, usaha bunuh diri tersebut gagal ia lakukan karena baju yang ia kenakan nyangkut. Lalu seorang cowok bernama Jaya (Vino G. Bastian, 'Tampan Tailor') yang kebetulan, atau (seperti yang ditekankan film ini) memang sudah bagian dari takdirnya, lewat di atas jembatan tempat Acid nyangkut menggelayut gagal terjun, datang menghampiri dan menyelamatkannya.
Acid berang karena diselamatkan, dan meminta Jaya untuk "bertanggung jawab" membantunya melanjutkan aksi bunuh diri tersebut. Premis yang terdengar konyol, serta tak masuk akal, bukan? Tapi, tunggu dulu, di tangan penulis yang salah, premis tersebut memang bisa menjadi bencana. Sungguh hal yang mengejutkan bahwa di tangan Akbar Maraputra bersama Ody C Harahap ('Bangsal 13, 'Kawin Kontrak') yang sekaligus menyutradari film ini, 'Cinta/Mati' berhasil memupus keraguan yang timbul akan premisnya yang konyol tadi, dan malah membuat film ini menjadi salah satu tontonan terbaik tahun ini.
Lewat bangunan cerita yang mereka susun, film ini meyakinkan secara mumpuni dalam dunianya sendiri. Dunia rekaan yang meyakinkan tersebut berhasil dibangun sehingga kedua tokoh dalam film ini, Acid dan Jaya, tak pernah kehilangan motif ataupun alasan-alasan yang masuk akal untuk segala tindak-tanduk mereka di sepanjang film. Dan, tentu saja ini juga berkat usaha keras dari kedua bintang film ini, Astrid Tiar dan Vino G. Bastian yang begitu klik, berbagi chemistry dengan baik satu sama lain.
Friedrich Nietzsche benar ketika ia berkata, "Tolong, jangan hancurkan kebohongan-kebohongan manusia, ilusi mereka, karena jika kamu melakukannya, mereka tak akan dapat hidup sama sekali; mereka akan hancur." Saya 'terpaksa' mengutip filsafat Nietzsche ketika harus membayangkan, apa yang ada di benak kedua tokoh dalam film ini, Acid dan Jaya ketika mereka memikirkan tentang bunuh diri? Mungkin ini: bahwa manusia tak akan menemukan hal yang pantas dijadikan alasan untuk tetap menjalani hidup. Manusia hidup karena ilusi; ilusi yang terus memberi mereka harapan. Manusia hidup di hari esok yang tak pernah datang, dalam ambisi yang tak pernah terpenuhi.
Mungkin harapan-harapan Acid dan Jaya telah menjadi hambar, segala keinginan telah berubah menjadi frustrasi, segala hasrat mereka telah terbukti mandul. Mereka telah melihat, mungkin untuk sesaat, sepintas, seperti sambaran kilat di tengah malam. Untuk sesaat mereka melihat bahwa mereka salah dan bahwa tak ada yang mereka capai dengan hidup dalam cara mereka masing-masing. Maka ide untuk bunuh diri mengemuka dalam diri mereka. Ya, Jaya yang pada awalnya berusaha menolong Acid untuk melakukan bunuh diri, ternyata ia pun memiliki isu yang sama, tentu saja untuk alasan yang berbeda.
Jaya kerap menyatakan bahwa alasannya bunuh diri adalah karena ingin seperti idolanya, Curt Cobain yang mati muda lalu terkenal sepanjang masa sebagai seorang legenda. Hal yang entah disadari atau tidak oleh si pembuat film, bahwa ini adalah kritik sosial yang telak sekali, namun disampaikan dengan tidak menohok berkat guyonan-guyonan segar yang disampaikan lewat kedua tokohnya. Belum lagi kritik soal para pengemis di ibu kota yang direkam film ini, Akbar dan Ody jeli sekaligus cerdik menyempilkan keberadaan mereka di tengah konflik tanpa terasa mengada-ada.
Penggambaran para pengemis itu juga sejalan dengan teori Nietzsche tadi, bahwa walaupun mereka kelaparan toh mereka tak mencoba bunuh diri, tetap melanjutkan hidup --kontras dengan isu besar yang menghinggapi kedua tokoh film ini. Ody C Harahap lewat film ini memberi tawaran sekaligus mengajak kita berdiskusi tentang sebuah perbincangan hidup dan mati dengan gaya yang santai, tak berusaha tampil cerdas bak film-film impor bergenre sama dari Hollywood.Ody C Harahap lewat film ini memberi tawaran sekaligus mengajak kita berdiskusi tentang sebuah perbincangan hidup dan mati dengan gaya yang santai, tak berpretensi tampil cerdas bak film-film impor bergenre sama dari Hollywood. Cara yang ditempuhnya ini memang yang paling tepat menggambarkan situasi sosial, juga sekelumit kemelut dari orang-orang Timur di dalamnya.
Kita pernah dibuat takjub oleh film 'Before Sunrise' dan kedua sekuelnya arahan Richard Linklater yang menampilkan Ethan Hawke dan Julie Delpy ngobrol beradu argumen satu sama lain soal banyak hal sepanjang film. Untuk konteks ketimuran, di negeri yang masyarakatnya mempercayai takhayul, di negeri tempat seorang pengacara terus-menerus mengkampanyekan sumpah pocong, 'Cinta/Mati' berhasil merekam situasi sosial dengan jujur, dan sekaligus bertalian dengan kondisi masyarakat yang menjadi penontonnya. Ini hal yang hebat dan jarang ditemui pada film-film Indonesia kontemporer lainnya.
Film ini memiliki ending yang tak akan mudah dilupakan. A-what-the-f**k-moment yang sangat emosional. Mengejutkan. Dan, segala hal tentang film ini memang mengejutkan!
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia; Twitter: @shandygasella
(mmu/mmu)