Mabuk yang Tak Kunjung Reda: Membaca Sejarah dalam Puisi Zeffry Alkatiri

Jakarta - Lebih sepuluh tahun lalu, setelah menerbitkan kumpulan puisi pertamanya yang memenangkan penghargaan Dewan Kesenian Jakarta, Zeffry Alkatiri datang pada bekas mahasiswanya, sejarawan JJ Rizal. Ia membawa naskah untuk buku kumpulan puisinya yang kedua. Setelah membacanya, Rizal pun berkomentar, "Jelek, Zef!"

Faktanya, buku itu kemudian memang susah mendapatkan penerbit. Namun, ketika akhirnya diterbitkan oleh Penerbit Padasan, Jakarta, Juli 2012 lalu, buku berjudul 'Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak' itu memenangkan Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kategori puisi. Lalu, apa kata Rizal kali ini? "Ya berarti komentar saya batal, saya ngalah. Juri KLA kan pasti orang hebat semua!"


Namun, kritikus sastra dari Universitas Indonesia Manneke Budiman justru menggunakan kata yang sama, "jelek" (bahkan ia menambahinya dengan "banget"), ketika mengomentari judul kumpulan puisi Zeffry tersebut. "Postkolonial dan Wisata Sejarah...itu dua hal yang berbeda dan tidak berhubungan," ujar Manneke dalam diskusi buku tersebut di Salihara, Jakarta, Selasa (26/3/2013) malam. Diskusi yang dimoderatori JJ Rizal itu juga menampilkan dosen sastra Mina Elfira dan sejarawan Bondan Kusumoyoso, keduanya juga dari UI.


Sesuai dengan judulnya, buku 'Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak' dibagi dalam dua bagian, Post Kolonial dan Wisata Sejarah. Pada bagian pertama, Post Kolonial, Zeffry mengunjungi kembali jarah kolonialisme di Indonesia. Sedangkan pada bagian kedua, Wisata Sejarah, Zeffry mengajak pembacanya untuk berkeliling dunia.


Menurut Manneke, sudah banyak upaya untuk menulis kembali sejarah lewat sastra. Pertanyaannya sekarang, kata dia, mampukah penulisan kembali sejarah itu mampu menghidari jebakan dikotomi penjajah dan terjajah, seperti selalu muncul dalam mindset masyarakat selama ini? Dalam hemat Manneke, Zeffry belum sepenuhnya bisa lepas dari jebakan tersebut.


"Sajak-sajak Zeffry banyak bercerita tentang kekalahan. Juga ada dendam yang dibakar dari utang masalalu, dan Zeffry ingin generasi baru penjajah, yang kini datang kembali sebagai turis misalnya, membayarnya. Postkolonial Zeffry adalah postkolonial yang masih bergelut dengan trauma dengan porsi kolonial lebih banyak dibanding post-nya, seperti mabuk yang tak kunjung reda dan bikin kelenger berkepanjangan," tutur Manneke.


Bondan Kusumoyoso juga melihat hal yang kurang lebih sama. Menurut dia, sejarah dalam puisi-puisi Zeffry kelam dan penuh tragedi. Padahal dalam perspektif sejarah, demikian Bondan, kolonialisme itu tak kelam-kelam amat. "Tragedi dalam sejarah itu lebih merupakan alam pikir kita, termasuk sastrawan. Saya tidak bilang kolonialisme itu bagus, tapi setidaknya tak terlalu kelam," ujar Bondan.


Seolah menengahi, Mina Elfira mengingatkan kembali pada fungsi sastra. Menurutnya, pembaca kerap terlalu mencari makna, dan lupa bahwa sastra diciptakan untuk dinikmati. "Zeffry jujur, memberi warning di awal bahwa puisi-puisinya dalam buku ini bukan pengantar tidur, tapi mengingatkan bahwa sebuah karya lahir dari kondisi sosial-politik saat ini," ujar Ira.


Ira tak menampik bahwa Zeffry bicara kekalahan, namun ia melihat ada hal baru di dalamnya. Menurut dia, puisi Zeffry lugas tapi tak kehilangan nilai sastra. Pilihan katanya masih bisa mengaduk emosi. Namun, secara umum ia menilai, kumpulan puisi Zeffry memang lebih kuat manfaat ketimbang keindahannya. "Zeffry sebagai sastrawan merasa wajib untuk menyadarkan kita, untuk membuat kita membaca dan mempertanyakan lagi sejarah," simpul Ira.


(mmu/mmu)