Kafe Rumi, Pelepas Dahaga Ruhani

Jakarta - Zawiyah Pondok Rumi dan Sufi Center, bukan satu-satunya komunitas sufi, khususnya yang mempraktekkan tarian Sema.

Di Wisma Iskandarsyah, Jl. Iskandarsyah Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pun ada komunitas Sufi yang tergabung dalam sebuah wadah yang disebut Kafe Rumi. Kafe? Ya, kafe. Tapi jangan cari makanan dan minuman trendi apalagi berbau alkohol di kafe yang berdiri sejak Agustus 2008 ini.


Kafe Rumi didirikan oleh lima sekawan yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha, yakni Hendro Marto Wardojo, Miranti Abidin, Amania Ray, Tito Sulistio dan Yati Idris. Lalu bila bukan makanan wah atau minuman unik, apa yang kafe ini sajikan kepada pengunjung?


Menurut Muchsin Mulaela, 38 tahun, koordinator dari Kafe Rumi, kafe ini didirikan atas dasar keprihatinan dimana wilayah perkotaan ini semakin gersang akan spiritual, orang-orang di perkotaan juga semakin sibuk mengejar materi.


"Dengan mengejar dunia terus, ada sisi hidup yang tidak terpenuhi. Nah, kafe kan biasanya menawarkan makanan dan minuman, Kafe Rumi ini menyediakan makanan bagi ruhani," ujar Muchsin kepada detikHot Senin (22/7/2013) lalu.


Menurut para pendirinya, orang-orang urban sangat mencintai konsep kafe dan cenderung alergi dengan model majelis ta'lim. Maka menu yang Anda akan jumpai di Kafe Rumi adalah zikir, meditasi, kajian spiritual, tari Sema (whirling dervishes),dan lainnya.


"Kafe Rumi ini diresmikan oleh Maulana Syekh Hisham Kabbani, seorang sufi besar dari Amerika Serikat, diundang khusus kesini. Beliau juga yang membawa whirling dervishes ke Indonesia," ujar Muchsin.


Kafe Rumi berdiri di dalam bangunan rumah toko yang memiliki empat lantai. Pengunjung yang datang akan diminta melepaskan alas kaki, laiknya ketika akan memasuki masjid atau mushala.


Tak ada kursi atau meja, karena di dalam semua pengunjung diajak duduk lesehan di atas sajadah-sajadah. Di ruangan yang tak terlalu besar itu juga terdapat rak-rak buku, yang kebanyakan adalah buku mengenai sufisme.


Para pemilik kafe ini adalah para pengusaha, yang selama ini sibuk dengan materi duniawi. Saat itu mereka merasakan ada yang kurang dalam hidupnya, yaitu kebutuhan rohaninya.


"Ciri-ciri orang yang merasakan rohaninya lapar yakni menjadi mudah gelisah, marah, putus asa," ujar Muchsin. Setelah merasakan ciri-ciri itu, para pendiri Kafe Rumi menyadari kebutuhan spiritualnya dan akhirnya mulai kembali mempelajari ilmu Tauhid.


Meski latar belakang mereka adalah pengusaha, kali ini mereka tidak mempraktekkan bisnis untuk Kafe Rumi. Justru disini mereka menyuguhkan makanan minuman gratis bagi pengunjung, tak terkecuali pada bulan puasa ini. Mereka membagikan sekitar seratusan makanan kecil untuk berbuka untuk orang-orang sekitar juga anak-anak yatim piatu setiap hari.


Nama kafe yang ternyata berbeda dengan konsep kafe yang kita kenal selama ini, membuat banyak pengunjung ikut tertipu. "Kita menipu, tapi menipu dalam tujuan baik. Bukan satu dua orang yang tertipu datang ke sini, menanyakan menu makanan, tapi kita jelaskan pakai pendekatan, ternyata banyak juga yang akhirnya tertarik."


Pada momen-momen tertentu Kafe Rumi juga mengundang pembicara seperti Habib Novel Alaydrus, Syekh Muhammad Ali Hanafiah dari Solok - Sumatera Barat, juga Syekh Gabriel dari Amerika Serikat. "Kalau sedang mengundang pemateri atau ulama, pengunjungnya bisa sampai 200-an orang," kata Muchsin.


(utw/utw)