Produksi Film 'Soekarno' Gunakan 3 Ribu Figuran Hingga Cast Multikultur

Jakarta - Bagi sebuah produksi film berskala besar seperti 'Soekarno: Indonesia Merdeka', selain bintang utama tentunya dibutuhkan pemain pendukung yang tidak sedikit. Sutradara Hanung Bramantyo pun mengerahkan lebih dari 3 ribu pemain tambahan.

Proses casting untuk pemeran Soekarno sendiri menurut Hanung dilakukan dalam waktu yang panjang. Yang dicari pertama olehnya adalah aktor yang memiliki kesamaan fisik dengan kemampuan akting bagus, selain itu wajah sang aktor harus memiliki nilai komersial.


Selain Ario Bayu, Hanung juga sempat meminta casting Agus Kuncoro, Anjasmara, dan Darius Sinathrya. "Kita coba shoot Soekarno, sampai akhirnya Ario. Dia melakukan casting berulang-ulang, semuanya sangat serius," ucap Hanung saat ditemui di Hotel Four Seasons Jakarta beberapa waktu lalu.


Untuk pencarian sosok Fatmawati, Inggit dan Bung Hatta juga melewati proses panjang sebelum akhirnya terpilih Tika Brafani, Maudy Koesnadi, dan Lukman Sardi. Menurut Hanung, salah satu kesulitan mencari pemain yang tepat adalah mencocokan jadwal.


"Lukman Sardi nyaris nggak bisa karena banyak banget filmnya," ucap Hanung.


Untuk tokoh Bung Hatta, Hanung sempat meng-casting Ben Kasyafani, David Chalik, dan beberapa orang yang bukan dari kalangan selebriti. Sementara peran Inggit juga sempat ditawarkan pada Happy Salma.


"Kalau pemeran Syahrir itu Tanta Ginting, dan komandan perang Jepang Sakaguchi dimainkan Feri Salim," lanjutnya.


Sementara untuk mencari pemain tambahan yang mencapai ribuan, sutradara yang merupakan pendiri Dapur Film itu banyak dibantu teman-temannya dari teater dan sanggar di Yogyakarta. Kesempatan casting juga diberikan pada wajah-wajah baru yang berasal dari berbagai daerah.


"Ada beberapa teman dari Belanda, Jepang, Swedia, dan Portugal. Kita buka casting online, dari Flores, Padang, Sunda, Jawa. Jadi dimainkan oleh banyak etnis dan suku," terangnya.


Nah, bicara soal produksi, waktu yang ideal untuk membuat film biografi bagi Hanung adalah 3 tahun. Satu tahun dihabiskan untuk penggarapan skenario, empat bulan sebelum produksi, dan sisanya pencarian pemain, syuting, hingga editing.


Namun, Hanung menambahkan, banyak pertimbangan dari produser film Indonesia untuk mau mengeluarkan uang dan usaha seperti itu. Karena makin banyak waktu yang dihabiskan, makin membengkak pula biaya yang dikeluarkan.


"Ada produser bule nanya ke saya, kalau sehari ada berapa scene? Saya jawab, 8 scene. Dia kaget, dia bilang itu banyak banget," tuturnya.


Film adalah investasi bagi produser. Namun dengan kondisi industri perfilman nasional yang tak stabil, jarang ada yang mau ambil risiko.


Maka tak heran bila beberapa tahun belakangan muncul film-film berbiaya rendah yang rampung dikerjakan hanya sekitar dua minggu, dengan jumlah penonton yang stabil. Alhasil, investasi mereka cepat kembali.


Coba bandingkan dengan produser yang harus mengeluarkan Rp 30 miliar, misalnya, untuk membuat film yang membutuhkan waktu 3 tahun. Kebanyakaan, mereka akan memilih menginvestasikan uangnya di deposito bank dan menikmati bunganya tanpa memikirkan risiko.


(ich/mmu)