'Warm', Kolaborasi "Panas" Teater Sirkus Prancis dan Ine Febriyanti

Jakarta - Panggung itu hanya memanfaatkan tiga per empat dari ruang yang ada di Teater Salihara. Dengan tiga dinding yang membatasi, panggung itu menjadi semacam instalasi. Dia dinding di kanan kiri adalah deretan lampun-lampu (masing-masing 14 x 5 lampu), dan dinding bagian belakang seperti cermin yang memantulkan bayangan para pemain pertunjukan itu.

Ine Febriyanti muncul dengan memondong 3 botol air mineral ukuran 1,5 liter. Ia berjalan pelan memutari arena di dalam tiga dinding cahaya tadi, sambil meletakkan satu per satu botol-botol air mineral itu di tiga sudut yang berjauhan. Lalu, ia berhenti di depan mikrofon di bagian sudut depan panggung. Ia pun mulai bermonolog.


Awalnya ia menceritakan bahwa dirinya sedang berada di sebuah kamar tanpa benang sehelai pun. Lalu, kata-kata, kalimat-kalimat, frasa terus mengalir. Setelah beberapa saat, dua lelaki (Alexandre Fray dan Frederic Arsenault) muncul. Mereka mengisi sudut lain panggung itu. Awalnya, mereka melakukan gerakan-gerakan kecil, seperti yoga.


Selanjutnya, pentas bertajuk 'Warm' itu bergulir dalam situasi yang panas dan penuh bahaya. Itulah pentas kolaborasi kelompok teater sirkus Rictus dari Prancis dengan Ine Febriyanti. Pertunjukan itu merupakan bagian dari hajatan Helateater Salihara yang digelar di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan sepanjang Juni-Juli 2013. 'Warm' dipentaskan Jumat (14/6) malam nanti dan Sabtu (15/6) besok pukul 20.00 WIB (tiket Rp 75 ribu untuk umum, dan Rp 35 ribu untuk pelajar/mahasiswa).


Dengan instalasi dan penyutradaraan oleh David Bobee yang sekaligus mendiri Rictus, 'Warm' mengalir selama sekitar 45 menit sebagai seolah-olah dua pertunjukan yang berjalan beriringan. Ada monolog Ine Febriyanti di satu sisi, dan aksi akrobat dua pemain 'sirkus' di sisi lain. Ada saat ketika suara-suara Ine, suara perempuan, menjadi obsesi bagi dua pemain akrobat yang bergelut, bergumul dan saling berpegang erat itu.


Namun, ada saat pula di mana ketika monolog itu merupakan instruksi, seruan, komando, dan ajakan bagi dua pemain akrobat itu. Semua itu terjadi dalam ruang berdinding 'cermin' dan cahaya. Dengan kekuatan rendah, lampu-lampu itu menghasilkan cahaya keemasan, putih kemerahan dan hangat. Namun, dengan kekuatan tinggi, cahaya yang dihasilkan berwarna putih menyilaukan dan panas. Dengan total kekuatan 120 ribu watt, suhu yang dihasilkan bisa mencapai 45 derajat.


Hawa panas itu sampai juga ke bagian penonton, dan memberi pengalaman yang berbeda untuk sebuah pertunjukan teater. Suasana yang panas itu menambah ketidaknyamanan seiring dengan 'kekacauan' yang terjadi di panggung. Dua tubuh lelaki tanpa baju, bermandi keringat, melakukan atrakti-atraksi yang mendebarkan, sementara suara perempuan itu terus memerintah, dalam desahan-desahan yang mengintimidasi.


Mereka berputar-putar dalam ruangan yang panas dan menyilaukan itu, seperti terperangkap. Sesekali mereka minum dari botol air mineral yang sudah disediakan, dan itu menjadi bagian dari 'atraksi' pertunjukan ketika air itu kemudian meluber ke mana-mana, membasahi tubuh dua lelaki itu, dan menjadi tantangan baru. Tubuh-tubuh yang semakin licin, berkilau, saling bersentuhan, dan ada saat ketika yang satu menginjak yang lain, menyeret, menekuk, mengangkat. Tubuh meluncur di atas tubuh, lembut, rapuh, saling menangkap, saling menyakiti, saling melindungi. Sementara, musik yang mengalun pelan, monoton, semakin lama semakin keras, tambah keras, keras sekali, menggetarkan dinding-dinding cahaya itu.


Naskah monolog (terjemahan Saraswati Wardhany) yang dilantunkan oleh Ine Febriyanti sangat menghantui, dan Ine membawakannya dengan energi yang luar biasa, dinamis, penuh irama, membujuk, merangsang dan memanaskan suasana. "Semua sama dalam panas. Semua tersesat, tubuh-tubuh yang tersesat," demikian salah satu suara itu, setengah berbisik.


(mmu/mmu)