'Cinta Brontosaurus': Tentang Cinta yang Bisa Kadalursa dalam Lawakan yang Kadaluarsa

Jakarta - Dika (Raditya Dika) baru saja putus dari Nina (Pamela Bowie). Ia kerap dicampakkan oleh cewek-cewek dari semenjak dirinya mengenal cinta monyet, sampai pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa cinta memiliki tanggal kadaluarsa. Ada waktunya pacar mulai bosan lalu pergi meninggalkannya.

Pengalamannya bersama cewek-cewek itu ia tuangkan ke dalam novel berjudul 'Cinta Brontosaurus', dan dibantu oleh agennya, Kosasih (Soleh Solihun), mereka berusaha menjual novel tersebut. Dalam usaha mempromosikan novel itu, mereka sering mengadakan diskusi buku. Namun, selalu saja tak berhasil menarik perhatian pembaca.


Kesempatan yang tak disangka-sangka pun akhirnya datang dari seorang produser film Mr. Soe Lim (Ronny P. Tjandara), yang menawarkan kerjasama untuk memfilmkan novel Dika tersebut. Namun, masalah timbul ketika Mr. Soe Lim ingin agar film itu nanti menghadirkan sosok hantu. Dika keberatan dengan ide tersebut. Di tengah kebimbangannya, ia bertemu dengan cewek cantik bernama Jessica (Eriska Rein). Mereka lalu jadian, dan kali ini Dika tak ingin bila cintanya kembali kadaluarsa.


Ini adalah film kedua yang dibintangi oleh Raditya Dika setelah 'Kambing Jantan' (Rudy Soedjarwo, 2009), juga film kedua yang dibuat berdasarkan novel yang ia tulis. Tak cukup hanya membintanginya, Raditya Dika pun menulis sendiri naskah film yang disutradarai oleh Fajar Nugroho ('Cinta di Saku Celana', 2012) ini. Hasilnya sungguh di luar dugaan. Sebagai sebuah karya yang lahir dari sineas muda, alih-alih jadi tontonan baru nan segar, film ini justru serba klise.


Banyak sekali gelaran adegan yang tak utuh, disodorkan begitu saja sebagai potongan-potongan klip pendek yang tak memberi perkembangan berarti terhadap plot cerita. Naskah film ini jelaslah tak tertangani dengan baik, bila tak ingin disebut berantakan. Lihat misalnya adegan Dika dan Jessica menari India, adegan Dika di atap SPBU, adegan Dika dan Jessica ngerjain pasangan lain ketika di Ragunan, dan masih banyak lagi. Adegan-adegan tadi selain diniatkan untuk mengundang tawa, juga terasa sekedar untuk memenuhi kuota durasi saja.


Arizal sering melakukan itu untuk sejumlah film Warkop DKI yang disutradarainya pada dekade 90-an. Anda tentu masih ingat sepenggal adegan ketika Dono mendapati seorang wanita cantik tengah duduk di kursi taman, lalu ia dekati wanita itu, dan alangkah terkejutnya Dono bahwa yang dikiranya wanita cantik tadi ternyata banci. Dan, adegan itu memang tak membawa plot cerita bergerak ke mana-mana. Kini, dua dekade telah terlewati, dan film ini masih saja memakai teknik usang itu.


Lewat karakter Mr. Soe Lim, 'Cinta Brontosaurus' dalam menyampaikan komedinya juga berusaha keras untuk menyindir film-film horor Indonesia kontemporer yang banyak dibuat asal-asalan. Mr. Soe Lim yang berpikir banyak penonton masih keranjingan film-film horor ingin agar bakal film adaptasi dari novel Dika tersebut diberi judul 'Hantu Cinta Brontosaurus' dan tentu saja, harus ada hantunya. Film ini sukses mengolok-olok sejumlah film horor kacangan dengan parodi "Pocong Push Up"-nya. Ironisnya, di tengah olok-oloknya film ini lupa diri bahwa lelucon yang sesungguhnya adalah film ini sendiri.


Dengan kata lain, di luar berhasil atau tidaknya komedi yang disuguhkan, film ini ternyata sama saja dengan sejumlah film horor yang diolok-oloknya. Adegan pernikahan Kosasih dengan Wanda (Tyas Mirasih) tak meyakinkan, dan pembuat film tak memberi alasan yang cukup perihal keberadaan karakter Wanda, selain untuk lucu-lucuan saja lewat komedi situasi yang tercipta; karakternya toh tak memberi sumbangsih apa-apa terhadap perkembangan plot cerita.


Film ini pun tak mampu memberi alasan tatkala di paruh akhir durasinya tiba-tiba saja novel Dika jadi laku dan digemari oleh pembaca. Adegan di awal film yang memperlihatkan kegagalan Dika dalam mempromosikan novelnya jadi sekedar lucu-lucuan yang dipaksakan saja. Beruntung sekali film ini tertolong oleh kerja kamera Yadi Sugandi yang menjadikannya masih layak untuk ditonton di layar lebar.


Dewi Irawan dan Bucek Depp berhasil tampil meyakinkan dalam peran kecil mereka, sedikit memberi suasana hangat dan keriangan yang sesungguhnya. Sementara itu -- juga dalam porsi peran yang kecil -- Meriam Belina untuk kesekian kalinya tampil membosankan dengan karakter tipikal yang sering ia mainkan. Soleh Solihun sebagai aktor/komedian pendatang baru secara mengejutkan mampu melakoni perannya tanpa rasa canggung, berbeda sekali dengan Raditya Dika yang tampak kepayahan bahkan untuk berperan sebagai dirinya sendiri.


'Cinta Brontosaurus' adalah copycat lawakan-lawakan usang, lengkap dengan atribut klise tokoh utamanya yang selalu berparas unik bak Kasino, Ateng, Nana Krip, atau Sule. Pembuat film ini rupanya masih terbuai oleh gaya lawakan lawas, gaya lawakan yang semestinya sudah kadaluarsa.


Shandy Gasella, pengamat perfilman Indonesia


(mmu/mmu)