'Kisah 3 Titik': Potret Gamang Realitas Gamblang

Jakarta - Jika mengangkat realitas tertentu dalam masyarakat ke dalam film secara otomatis sudah merupakan sebuah keberpihakan, maka yang diperlukan selanjutnya adalah sikap. Sejak awal, film ini jelas menaruh 'hati' pada nasib perempuan buruh. Dengan paparan seperti yang tampak di layar, mustahil bagi penonton untuk tidak bersimpati. Tapi, sekali lagi, setelah itu apa? Terserah penonton memaknainya?

Judul 'tiga titik' merujuk pada tiga perempuan bernama Titik, yang masing-masing diperankan oleh Lola Amaria, Maryam Supraba dan Ririn Ekawati. Titik yang diperankan Lola adalah seorang profesional kantoran yang baru saja diangkat menjadi manajer HRD untuk pabrik yang baru dibeli oleh perusahaan tempat dia bekerja. Selain dikisahkan bahwa dia memang seorang pekerja keras, belakangan penonton juga diberi tahu bahwa kenaikan jabatan itu adalah buah dari hubungan asmaranya dengan salah seorang pemilik perusahaan tersebut.


Pada belahan cerita lain, Titik yang diperankan Maryam Supraba adalah buruh pabrik sepatu rumahan. Perawakannya tomboy, dan sejak awal ia diperkenalkan kepada penonton sebagai perempuan yang keras, penuh amarah. Ternyata, ia memang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kekerasan, lari dari keluarganya dan berusaha mandiri. Amarahnya memuncak ketika pabrik tempatnya bekerja memperdayai anak-anak berseragam SD untuk dipekerjakan, dengan 'backing' preman kampung yang tak lain teman masa kecil Si Tomboy.


Titik yang satu lagi, yang diperankan oleh Ririn Ekawati, baru saja ditinggal mati oleh suaminya. Selain harus membesarkan gadis kecil, ia juga tengah mengandung. Untuk menyambung hidup, ia harus mencari kerja. Namun, kehamilannya menjadi halangan, sehingga ketika akhirnya ia mendapat pekerjaan di sebuah pabrik pakaian dalam, ia harus kucing-kucingan dengan mandor untuk menyembunyikan perut buncitnya.


Tiga Titik berjalan beriringan; ada satu masa dua di antaranya bertemu, namun selebihnya merupakan titik-titik yang berada di semesta masing-masing. Namun, dipertemukan atau tidak, ketiganya tetap punya daya untuk membentuk sebuah benang merah tentang nasib perempuan-perempuan buruh. Film yang disutradarai oleh Bobby Prabowo ini diproduseri oleh Lola Amaria, yang sebelumnya menyutradarai 'Minggu Pagi di Victoria Park' yang juga bicara tentang kaum perempuan buruh.


Dari beberapa aspek yang ditampilkan oleh film ini sendiri, sebenarnya sudah sangat gamblang bahwa persoalan kaum perempuan di dunia buruh pabrik ya itu-itu saja. Kita boleh marah bahwa di zaman kini masih ada perempuan yang bekerja dengan rasa takut sewaktu-waktu akan dipecat "hanya" karena dia hamil. Itu belum termasuk, bahwa nasib mereka ditentukan oleh perpanjangan kontrak, yang tak jarang hanyalah akal-akalan pemilik modal mempermainkan aturan, demi mendapatkan tenaga murah.


Sayangnya, untuk persoalan yang sudah segamblang itu, film ini masih juga bersembunyi di balik kilah klise "hanya memotret realitas". Sebuah jebakan batman yang kerap menjerumuskan para filmmaker yang berpretensi menyuarakan (baca: memperjuangkan) keberpihakan tertentu. Tapi, seperti telah disinggung di awal, keberpihakan di film ini baru separo dari tujuan. Tiga titik realitas yang dengan cukup rapi dibangun dari awal, di bagian akhir dipotong begitu saja, karena pembuatnya sepertinya bingung, mau diapain dan dikemanain lagi?


Ririn Ekawati bermain sangat bagus menghidupkan tokoh buruh perempuan yang tak berdaya, tapi nasibnya tak jelas sehingga berakhir begitu saja di lorong rumah sakit. Sedangkan Titik Tomboy, siapa yang tak tergugah oleh kemarahannya yang menggelegak? Tapi, semua itu seolah anti-klimaks karena, lagi-lagi, di tangan para filmmaker yang ada di belakang film ini, ia dibuat tak berdaya. Amarah yang sama sebenarnya juga tersimpan pada tokoh Titik Si Manajer. Sulit bagi kita untuk tak jatuh cinta padanya: seorang perempuan kelas menangah yang berhati mulia, merakyat, memikirkan perbaikan nasib buruh.


Tapi, pada saat yang sama ia digambarkan sebagai seorang perempuan "jalang", yang "menghalalkan" segara cara untuk mencapai tujuannya, termasuk tidur dengan pria yang punya akses kuasa dalam pengambilan keputusan. Apa "pencerahan" yang dapat dipetik dari "realitas" itu, kalau kita hubungkan dengan dua titik lainnnya, kecuali semata justru menekankan gambaran ketakberdayaan perempuan, apapun dan di mana pun level kelas dan profesinya? Mengapa kemarahan di awal film ini tidak menjadi napas dan daya gugah, tapi justru kemudian melahirkan kegamangan untuk menentukan sikap?


Bahkan, pada satu titik, lewat beberapa adegan perdebatan di tingkat direktur, film ini seperti mengkritik kenaikan upah yang telah ditetapkan pemerintah (dalam hal ini bisa merujuk ke Pemda DKI Jakarta). Adegan itu membuat film ini seolah justru mewakili suara kaum pengusaha dan pemilik modal, dengan teorinya yang selalu mengatakan bahwa kenaikan upah akan membuat investor asing lari. Kita juga bisa curiga, bahwa film ini menjadi gamang karena salah satu sponsornya adalah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.


(mmu/mmu)