Ternyata, kaum perempuan masih menghadapi persoalan yang itu-itu saja, dengan isu paling besar ditinggal kawin lagi oleh suami. Atau, tak kurang apes dari itu, dipinang oleh laki-laki yang tak dikehendaki, namun begitu berkuasa dan sulit ditolak. Dan, jangan pernah bilang bahwa hal itu hanya terjadi dalam cerita rakyat dan legenda yang sudah usang ditelan zaman.
Nia Dinata, yang bertanggung jawab atas penulisan naskah 'Padusi', mengangkat 3 legenda perempuan dari Minang untuk pementasan ini. Tiga-tiganya bukanlah perempuan yang bahagia, karena hidup dan nasibnya masih ditentukan oleh laki-laki di sekitarnya. Dibingkai dengan perspektif kekinian, dikemas dalam alur yang sederhana namun padat dan tangkas, pertunjukan ini berhasil menunjukkan bahwa 3 legenda "kuno" itu masih valid menggambarkan kondisi umum kaum perempuan hari ini.
Ine Febriyanti memerankan secara berganti-ganti 3 perempuan sekaligus. Pertama, ia tampil sebagai Puti Bungsu, bidadari yang kehilangan sayapnya setelah mandi di telaga di bumi, sehingga tak bisa kembali ke kayangan. Ia pun terpaksa menerima ajakan Malin Deman, pria kampung yang manja dan masih sangat tergantung pada ibunya, untuk ikut pulang ke rumahnya, dan menjadi istrinya.
Kedua, Ine berperan sebagai Siti Jamilan, dalam sebuah kisah pedih tentang pengkhianatan seorang suami yang tak bisa menahan nafsunya untuk kawin lagi dengan perempuan yang lebih muda. Ketiga, Ine menghidupkan kembali sosok Sabai dari legenda popular Sabai nan Aluih, yang menolak pinangan datuk tua kaya Rajo nan Panjang.
Tiga legenda tentang perempuan itu muncul kembali sebagai buah dari perjalanan kontemplatif seorang perempaun muda masa kini bernama Padusi (diperankan oleh Marissa Anita). Padusi (bahasa Minang, artinya perempuan) pulang ke kampung halamannya setelah 10 tahun, dan bermaksud melacak asal-usul dan akar budaya yang telah membentuknya sebagai perempuan saat ini.
Sejak awal dibuka, panggung sudah langsung menyedot perhatian dengan adegan di sebuah bandara, saat Padusi tiba. Adegan kedua, tanpa bertele-tele, kemudian memasuki legenda Puti Bungsi yang menghanyutkan. Panggung tiba-tiba berubah menjadi panorama alam nan elok, dengan pada bidadari mandi di telaga hutan. Perpaduan unsur-unsur video dan tirai transparan berhasil menciptakan manipulasi visual yang seolah membawa penonton ke alam lain.
Tiga legenda perempuan itu terpapar berturutan, dihubungkan dengan benang merah yang kuat, dibingkai dan dihiasi musik serta lagu yang membuai, dan pada adegan tertentu terasa kelam, magis, dan mencekam. Ini adalah kolaborasi dari penata tari Tom Ibnur, sutradara Rama Soeprapto dan penata musik Yaser Arafat.
Bila bisa dirangkum dalam satu kata, maka 'Padusi' bisa digambarkan sebagai sebuah pertunjukan yang sederhana. Namun, justru di situlah letak kekuatannya. Kesederhanaan menjadi sebuah kesengajaan dalam pentas ini, tanpa kehilangan kesempatannya untuk mengggali semangat perlawanan perempuan.
Kedengarannya berat, tapi 'Padusi' mengemas dirinya dalam porsi yang serba pas. Ringan tapi esensial, "ngepop", tapi tak kehilangan daya gugah. Sebuah persembahan yang cocok terutama untuk perempuan-perempuan kelas menangah kota Indonesia masa kini, dan tentu saja laki-laki modern yang ingin tercerahkan jiwanya.
Selama dua hari, 'Padusi' dipentaskan setiap pukul 14.00 dan 19.00 WIB. Tiket dijual dalam 4 kelas dengan harga masing-masing Rp 250 ribu, Rp 500 ribu, Rp 700 ribu dan Rp 1 juta.
(mmu/kmb)