'Foxcatcher': Kesunyian Seorang Milyuner

Jakarta - Mark Schultz (Channing Tatum, dalam peran paling serius yang pernah ia lakukan seumur hidup) bisa jadi merupakan atlet kebanggaan Amerika. Ia mendapatkan medali emas dalam bidang gulat di Olimpiade 1984. Namun saat ini dia hanya bisa bertahan dengan cek 20 dollar, makan di tempat murah dan menikmati mie instan di rumahnya yang dekil dan suram.

Kakaknya, Dave Schultz (Mark Rufallo, memberikan rasa persaudaraan yang akrab hanya dengan pandangan mata), mencoba untuk merengkuh sang adik sekuat tenaga. Namun, dengan istri (Sienna Miller) dan kedua anaknya, Dave hanya bisa membantu memberikan dukungan moral.


Ketika datang tawaran dari seorang bangsawan kaya raya, John du Pont (Steve Carrell, tidak pernah tampil semenyeramkan dan semenghipnotis itu sebelumnya) untuk membawa nama harum yang sudah menguap, kebanggaan mengibarkan bendera Amerika di kancah internasional dan terutama, kembali mengisi perutnya yang kelaparan, Mark tidak punya pilihan lain kecuali menerimanya. Dan, ini adalah awal mula dari kabut gelap yang menyelimuti film ini.


Bennett Miller bisa jadi disebut sebagai sutradara spesialis biopik. Dua film terakhirnya sebelum ini, 'Capote' dan 'Moneyball' juga menceritakan dengan fokus tentang orang-orang yang mempunyai kisah hidup paling menarik. Hebatnya, di setiap film Miller tidak hanya berhasil membuat pemain utamanya mendapatkan nominasi Oscar --Phillip Seymour Hoffman menang sebagai Best Actor dalam 'Capote', 'Brad Pitt' mendapatkan nominasi dalam 'Moneyball' dan Steve Carrell dalam film ini-- namun juga semakin menunjukkan bahwa dia adalah maestro storytelling.


'Capote' menjadi menggelegar karena Hoffman menggiring Anda ke setiap frame yang disajikan oleh Miller. 'Moneyball' membuat orang tertawa lebar karena skrip yang luwes dan perjuangan Brad Pitt untuk sukses. Kali ini? 'Foxcatcher' akan membuat Anda merinding ketakutan karena Miller berhasil melukis atmosfer yang dingin dan rasa tidak aman.


Skrip yang ditulis oleh E. Max Frye dan Dan Futterman bergerak seperti sebuah kereta yang dimulai dengan perlahan namun akhirnya melaju kencang menembus cahaya. Motivasi du Pont yang misterius memang tidak dijelaskan secara gamblang namun justru itulah poin menariknya. Miller menantang penonton untuk meneliti satu per satu karakter unik ini berdasarkan setiap adegan yang ia tuturkan.


Apakah mungkin represi seksual? Dalam satu adegan Miller memberikan gambaran jelas bagaimana hubungan Mark dan John lebih seperti sepasang kekasih daripada bos dan karyawannya. Apakah mungkin tekanan dari keluarga? Cara du Pont untuk membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi orang yang tangguh kepada sang ibu (Vanessa Redgrave, singkat namun menyita perhatian) yang sepertinya memandang du Pont seperti kesalahan epik memberi petunjuk itu. Belum lagi fakta-fakta kecil menyakitkan bahwa du Pont memang seorang milyuner yang kesepian. Atau, mungkin mentalnya terganggu dari awal?


Pertanyaan-pertanyaan itu akan terus menghantui Anda dengan begitu nikmat sampai akhirnya layar menggelap dan akan membuat penonton geleng-geleng tak percaya. Dan Miller, dengan intepretasinya yang memikat --yang membuat Mark Schultz yang asli menentang keras hasil akhir filmnya beberapa waktu yang lalu-- akan membuat penonton mengerti, kenapa dia layak mendapatkan hadiah Best Director di Cannes Film Festival setahun yang lalu.


'Foxcatcher' bergerak lambat dan melatih kesabaran. Bagi Anda yang sudah terbiasa menonton film yang mempunyai tempo cepat dan menanti adegan ledakan setiap lima menit sekali, film ini jelas bukan buat Anda. Namun, jika Anda ingin melihat bagaimana seorang Bennett Miller mendongengi Anda tentang sebuah kisah nyata yang menyeramkan dalam sebuah thriller yang menghipnotis dengan akting yang menawan, 'Foxcatcher' jelas tidak boleh Anda lewatkan. Hanya tayang di BlitzMegaplex dan Cinemaxx.


Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.


(mmu/mmu)