"Itu tergantung dalam konteks seperti apa. Kalau yang mengundang pihak EO, kemudian sponsor, pemerintahan, perusahaan tertentu yang punya budjet. Contoh EO itu kan udah masuk ranah komersil. Bagaimana mereka memberikan nilai tertentu kepada pihak pengundang. Mereka baru konfirm ke pihak ustad. Dalam kasus ini, ketika kita ada nilai tertentu yang kita ajukan dari pihak ustad itu wajar, karena ada biaya," papar Zacky ditemui di kediamannya di Cibubur, Jakarta Timur.
Soal fee, Zacky menilai wajar adanya untuk para dai. Menurut ustad yang sudah memiliki tiga orang anak itu mengenai masalah fee ceramah memang tidak bisa dipatok. Namun menurutnya semuanya harus jelas di awal kesepakatan antara sang ustad dan pihak pengundangnya.
"Berbeda dalam konteks yang swadaya masyarakat, mereka bangun musala, mereka ingin hadirkan ustad, itupun harus melalui kroscek terlebih dahulu. Kalau saya pribadi, silahkan datang ke rumah. Rumah saya terbuka, terutama buat mereka yang mengundang," katanya.
"Jadi masalah tarif-menarif, tergantung konteksnya menurut saya," sambungnya menjelaskan.
Zacky menuturkan, zaman sekarang ini, ustad juga memiliki manajemen. Sebelum berceramah pun ia juga ingin semua jelas di awal. Namun ia menekankan manajemen dakwah berbeda dengan manajemen artis.
"Harus ada nilai yang disepakati dalam hal mengundang. Jumlahnya nggak ditentuin, tapi ada tanda kita terikat dalam bentuk kontrak. Bahasa manajemen dakwah itu berkeluarga, nggak kaku, nggak kayak manajemen artis. Kita fleksibel," paparnya.
Lantas bagaimana pendapat ustad Zacky mengenai bayaran seikhlasnya untuk para dai? "Jangan ikhlas itu diartikan dimudah-mudahin. Undang saya nggak perlu ring 1, 2, atau 3. Yang atur jadwal saya, istri saya. Datang aja ke rumah. Ikhlas itu saling menjaga. Ustad juga ceramah nggak jalan kaki ceramah, kalau naik motor ada bensinnya juga," tukasnya.
(kmb/kmb)