Menuruti Jiwa Seni Setelah Coba Banyak Profesi

Jakarta - Seni tak mesti berbau wangi, dipamerkan dalam ruang berpendingin maksimal dan dinikmati hanya segelintir orang berduit. Seni lukis misalnya juga bisa dinikmati dari sudut-sudut kota, di jalanan atau di ruang rupa alternatif.

Mungkin tanpa kita sadari Jakarta punya banyak cerita tentang seni jalanan ini. Baik yang niatnya memang komersial atau sekadar menjadikan seni jalanan sebagai media berkarya. Berikut beberapa kisah seniman jalanan seperti yang telah dihimpun detikHot.


***


Teriknya matahari tak membuat surut aktivitas para pelukis jalanan di sepanjang Jalan Pintu Besar Selatan, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat.


Belasan pelukis tampak siaga menerima pelanggan. Makin siang, tangan mereka justru kian lihai menggambar sketsa maupun melukis lantaran banyaknya pesanan.


Salah satunya adalah seniman asal Purwokerto Bagong Surono, 46 tahun. “Saya belajar melukis dari sanggar seni pas Sekolah Menengah Pertama,” katanya kepada detikHot Kamis pekan lalu (25/7/2013).


Sepuluh tahun yang lalu, ia merantau ke Jakarta. Keinginannya dulu sederhana saja, menjadi kuli bangunan. Namun, takdir berkata lain. Saat ia sedang nongkrong di kawasan sebelum Glodok, darah seninya kembali muncul.


“Yang sudah lupa sama teknik-teknik melukis, jadi muncul lagi. Saya mulai jual jasa bikin sketsa dan alhamdulillah rejeki ada terus,” ujarnya.


Setiap bulannya, ia bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp 2-5 juta. Jika sedang sepi hanya berkisar Rp 1 juta saja. Untuk harga sketsa yakni Rp 40 ribu dan satu buah lukisan minimal di atas Rp 500 ribu sesuai tingkat kesulitan.


Ketika sedang asyik mengobrol dengan detikHot, seorang pelanggan Bagong menghampiri. A Hong, 35 tahun ingin mengecek pesanannya yakni sebuah lukisan bergambar kedua orang tuanya. Tapi, ada bagian yang tak disukainya.


“Itu kok matanya enggak kelihatan. Ubah dong,” pinta A Hong. Bagong pun mau tak mau menurutinya meski harga lukisan yang dibayar pelanggannya kecil yaitu Rp 500 ribu.


***


Beda lagi kisah Hadi Aryono, lulusan jurusan Seni Rupa Institut Teknik Bandung (ITB) angkatan 1991. Hadi sejak awal punya idealisme kuat terhadap lukisan. Ia bertekad menjadi seorang pelukis naturalis dan surealis. Semangatnya begitu kuat, hingga kembali ke Jakarta.


Di kota kelahirannya ini, pria berusia 42 tahun tersebut mulai bekerja sesuai mimpinya. Ia melukis tak kenal lelah, puluhan lukisan dicobanya dijual. Namun, sayangnya rejeki belum berpihak.


“Hanya beberapa saja ada yang beli. Saya pun harus banting setir demi perut,” katanya kepada detikHot. Hadi sempat bekerja kantoran, kuli bangunan, satpam, dan sebagainya. Apa saja dilakukannya demi menafkahi keluarga.


Tapi, bakat seni rupanya tak kunjung padam. Ia kembali melukis di pinggiran jalan, di depan pusat perbelanjaan hingga mengumpulkan modal untuk membuka usaha workshop seni rupa di Mall Citraland.


Prediksi Hadi bahwa pengunjung mall akan membanjiri usahanya benar. “Saya untung puluhan juta selama beberapa bulan. Tapi lambat laun pengunjung berkurang. Makin sepi dan ditambah biaya sewa ruangan Rp 1 juta per bulan yang jadi berat.&rdquo

Tekad melukisnya tak berhenti. Hadi kembali ke jalanan. Selama 13 tahun ia melukis di pinggiran Jalan Pintu Besar Selatan. Perekonomiannya kembali lancar dan stabil. Per bulan Hadi bisa untung Rp 3-4 juta. Malahan satu sketsa saja yang dijualnya di akhir pekan di Museum Fatahillah dia bisa meraup untung satu jutaan.


(utw/utw)