Bu Dibjo, Buka Bisnis Tiket Demi Bangun Sekolah

Jakarta - Pasca Lebaran 2013, sederet agenda konser dan pertunjukan sudah siap digelar. Urusan penyelenggaran konser pastinya bukan hanya para event organizer yang bakal ribet dan sibuk. Sudah sejak jauh hari mengurus segala urusan yang berkaitan dengan konser.

Biasanya memang tak pasti selalu lancar. Sebut saja soal perizinan. Bahkan konser besar macam Metallica yang rencananya akan berlangsung tanggal 25 Agustus mendatang yang sempat maju mundur. Akhirnya memang dipastikan band itu akan menggelar konser keduanya di Indonesia.


Nah, salah satu cabang bisnis yang bisa ikut keta-ketir akan penyelenggaraan suatu konser atau pertunjukkan adalah para penjual tiketnya. Mereka bisa jadi berbentuk perusahaan besar, menengah bahkan juga perorangan. Bagaimana gerak bisnis mereka, simak liputan berseri detikHOT berikut.


***


Beli tiket ya di Bu Dibjo. Demikian mungkin kenangan yang diingat mereka yang menjalani masa remaja di tahun 1970 hingga 1980-an. Ya, tentu saja tak salah, karena Bu Dibjo atau Ida Kurani Sudibjo adalah pendiri usaha bisnis tiket box pertama yang ada di Jakarta.


Senin awal pekan ini (29/7/2013), detikHOT mendatangi cabang dari tiket box Bu Dibjo yang terletak di Plaza Margaguna lantai dasar, Jalan Radio Dalam Raya Nomor 3, Jakarta Selatan. Cat bangunan ruko tersebut tampak baru.


Di sana hanya ada satu karyawan sekaligus penerima tamu. “Baru ada tiga bulan di sini,” kata putra ketiga Bu Dibjo, Djoko Kinanto, 55 tahun kepada detikHOT.


Djoko bersama ketiga saudaranya meneruskan bisnis keluarga yang sudah dirintis ibunya sejak 1963. Kakak pertamanya adalah Eddy Kurdianto, kini bekerja sebagai arsitek. Kakak keduanya, Bobby Herman berprofesi insiyur teknik di suatu perusahaan. Sedangkan adik terkecilnya, Srie Sulistyowati atau akrab disapa Nuska membantu urusan keuangan di bisnis tiket tersebut.


“Dari kecil kami sudah membantu ibu, apalagi kalau yang beli lagi rame. Langsung inisiatif terjun sendiri, tapi sekarang yang full time saya sama Nuska,” ujar Djoko.


Lulusan jurusan Farmasi Universitas Indonesia ini menceritakan perjalanan bisnis keluarga ini. Tujuan awal didirikan karena ingin mendirikan sekolah dari Taman Kanak-Kanak hingga jenjang Sekolah Dasar yang dinamai Lembaga Putra Kita (LPK). Awalnya, mereka kebingungan mencari modal.


“Ada teman keluarga importir film luar. Inisiatiflah bikin pertunjukan eksklusif di hotel bintang lima yang mewah. Kami sebut Gala Premier,” ujar Djoko.


Untuk lokasi dan fasilitas memang sudah memadai, namun persoalan tiket, Bu Dibjo tidak ingin laiknya bioskop yang ada. Akhirnya, ia mendirikan bisnis jasa penjualan melalui tiket box.


Pada awal 1970, banyak promotor artis dalam maupun luar negeri menawari menjual tiket. “Seperti band The Rollies, Bimbo, sampai grup musik disko Boney M.&rdquo

Perjalanan jatuh dan bangun menjalankan bisnis ini menjadi kekuatan bagi Bu Dibjo. Sewaktu ibunya masih ada, Djoko menceritakan ia pernah mendengar banyak pelanggan yang ingin menonton konser tapi tak punya uang.


“Ibu nyuruh nyicil setiap harinya. Saya juga enggak ngerti gimana sistem administrasi waktu itu, tapi ibu percaya saja sama customernya,” kata Djoko.


Selain itu, para fans sepak bola juga suka mengeluh kepada Persatuan Sepak Bola Seluruh Inodnesia (PSSI) atau pihak penyelenggara jika Bu Dibjo tak menjual tiket pertandingan.


“Seperti pertandingan Chelsea kemarin, banyak yang bilang gitu. Saking sudah nyamannya sama kita.&rdquo

Ketika Bu Dibjo wafat pada Maret 2002, banyak pelanggan yang datang untuk duka cita. Bahkan seorang promotor Java Musikindo Adrie Subono mewanti-wanti agar bisnis ini tak ditutup.


Hingga kini ada pesan yang selalu diingat bagi putra dan putri Bu Dibjo. “Bisnis ini amanah, lakukan dengan sebaik-baiknya. Jika sudah dipercaya, dipegang janjinya,” ujarnya. Sejalan dengan perkembangan teknologi, tiket box Bu Dibjo pun mengikuti perkembangan zaman. Seperti menggunakan situs, sistem pembayaran online hingga teknologi printer.


(utw/utw)