'The Imitation Game': Memecahkan Enigma Moral Kemanusiaan

Jakarta - Seminggu yang lalu, Academy mengumumkan bahwa 'The Imitation Game' mendapatkan jatah delapan nominasi Oscar. Film berbahasa Inggris pertama sutradara Norwegia, Morten Tyldum ini mendapatkan nominasi atas Best Production Design, Best Score, Best Editing, Best Adapted Screenplay, Best Supporting Actress, Best Actor, Best Director dan tentu saja Best Picture. Kedigdayaan tersebut bisa jadi alasan mutlak kenapa Anda harus menonton film ini. Tapi, tanpa penghargaan mengagumkan tersebut, Anda tetap patut menyaksikannya. Film ini bukan hanya sebuah biopik yang menarik, tapi juga sebuah tontonan yang luar biasa menghibur.

'The Imitation Game' menceritakan tentang sepak terjang seorang ahli matematika jenius bernama Alan Turing (Benedict Cumberbatch) yang mencoba memecahkan kode enigma Nazi pada zaman Perang Dunia II. Graham Moore, penulis skrip yang mengadaptasi buku karangan Andrew Hodges berjudul 'Alan Turing: The Enigma' sengaja mengacak urutan waktu secara non-kronologis untuk memberikan kita sedikit demi sedikit informasi mengenai sosok legendaris ini.


Pertama muncul di layar, sosok Alan Turing yang terlihat oleh kita adalah sosok yang rapuh. Kita bisa melihat betapa Benedict Cumberbatch yang begitu luar biasa memerankan Alan Turing terlihat seperti sedang menahan sakit. Kemudian dia menceritakan mundur tentang masa mudanya, ketika menawarkan diri kepada komandan angkatan laut Inggris, Dennison (Charles Dance) untuk menyelesaikan kode-kode enigma untuk membaca strategi pasukan lawan. Di masa ini, kita melihat sosok Turing yang jauh lebih percaya diri dan cenderung 'sengak'. Alur kemudian menggiring kita memasuki pola berpikir dan cara sosialisasi Turing yang cenderung individualis. Sampai akhirnya kita digiring ke masa kanak-kanak Turing dan kisah cintanya dengan teman sekelas bernama Christopher (Jack Bannon).


'The Imitation Game' boleh saja menjadi kisah belakang layar dari sebuah perang. Tapi, karakter Turing-lah yang kala itu dianggap kontroversial yang membuat film ini benar-benar memikat penonton. Usaha Turing untuk memecahkan enigma Nazi memang luar biasa tapi pembedahan karakternya, dan bagaimana sikap masyrakat atas homoseksualitas yang menjadikan film ini nampak mencolok dibandingkan dengan film-film serupa.


Morten Tyldum, setelah 'Headhunters' yang juga banjir pujian, mengarahkan para pemain dalam 'The Imitation Game' ke level paling tinggi. Benedict Cumberbatch mengerahkan semua tenaganya untuk menjadikan Alan Turing magnet berjalan. Ia sudah mendapatkan Emmy atas perannya sebagai jenius lain dalam serial 'Sherlock'. Namun, berbeda dengan karakter tersebut yang cenderung sok asik, Cumberbatch berhasil meyakinkan kita bahwa mungkin saja Alan Turing menderita autisme. Film ini memang tidak menjelaskan sikap acuh dan anti-sosialnya secara gamblang, tapi cara Cumberbatch menampilkannya menunjukkan kemungkinan itu. Belum lagi perubahan bahasa tubuhnya di akhir film setelah pemerintah memutuskan untuk memberikan suntik hormon kepada Turing. Cumberbatch benar-benar tenggelam dalam sosok Turing.


Keira Knightley, yang juga mendapatkan nominasi Oscar tahun ini sebagai Joan Clarke, anggota tim Turing, mengimbanginya dengan kepintaran dan keramahan hati yang menghangatkan. Dibutuhkan sosok seperti Clarke yang manis untuk mencairkan hati Turing dan Knightley melakukannya semudah mengedipkan mata. Chemistry keduanya begitu menyilaukan saking kerennya.


'The Imitation Game' bukan hanya sebuah biopik tentang seorang jenius yang tersesat dalam susunan norma masyarakat yang kolot. Film ini adalah pengingat bahwa apa yang dirasakan oleh Turing masih bisa kita temui sehari-hari sampai zaman kini. Dengan tempo yang pas, skrip yang lugas dan scoring (Alexandre Desplat) yang menghanyutkan, 'The Imitation Game' adalah satu paket tontonan yang tidak boleh Anda lewatkan.


Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.


(mmu/mmu)