Membalik Arus, Mengakrabi Laut

Jakarta - Laut dulunya 'taman bermain' yang hingga sudut-sudutnya dan setiap lipatannya kita kenali. Mengapa ratusan tahun kemudian bangsa Nusantara, yang masih memegang jargon sebagai bangsa bahari, enggan mencelupkan kaki ke laut.

Sikap memunggungi laut terjadi bukan karena kurangnya investasi di bidang kelautan, bukan pula karena kurangnya pengetahuan, teknologi, atau infrastruktur. Tapi akibat perubahan panjang dalam sejarah yang membalik arus kebudayaan kita.


Kita perlu belajar tentang Majapahit, tapi bukan kejayaannya, melainkan kejatuhannya yang menimbulkan arus balik yang hebat dalam sejarah. Kita perlu belajar tentang pelaut Mandar bukan untuk mengagumi kehebatannya berlayar, tapi untuk memahami bagaimana mereka bisa bertahan sebagai pelaut, sebagai komunitas maritim.


Kita perlu belajar tentang orang Bajau dan suku Laut bukan karena keunikan sejarah dan budaya yang terkesan eksotik, tapi karena, dalam pandangan dunia mereka, kita bisa menemukan landasan untuk membayangkan negeri maritim di masa mendatang.


Hilmar Farid, sejarawan sekaligus aktivis sosial, budaya, dan politik, serta doktor dalam bidang kajian budaya membuat paparan tentang budaya maritim yang sudah lama sekali ditinggalkan dalam Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berjudul Arus Balik Kebudayaan: Sejarah sebagai Kritik di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2014.


Pidato Kebudayaan DKJ adalah tradisi tahunan, diselenggarakan sejak 1989 sebagai bagian perayaan ulang tahun TIM. Tokoh-tokoh yang pernah menyampaikan pidatonya antara lain Umar Kayam (1989), B.J. Habibie (1993), Rendra (1997), Amien Rais (1998), Ahmad Syafii Maarif (2005), Ignas Kleden (2009), dan Karlina Supelli (2013).


Pidato Kebudayaan 2014 ini merupakan penyelenggaraan ke-14. Berikut ini rangkuman pidato Hilmar Farid yang dia bacakan selama lebih dari satu jam. Berita selengkapnya di sini.


(tia/tia)