Yang menarik adalah film ini dibuka oleh Mathias Muchus, berpakaian ala koboy, memegang senjata laras panjang, berbicara kepada kamera ihwal cerita yang akan terjadi dalam film. Yakni, tentang kerasnya kota Jakarta serta orang-orang di dalamnya, dan lewat dialah sejumlah tokoh dalam film ini diperkenalkan, lengkap dengan segala latar belakangnya. Lalu kita dibuat penasaran, selain sebagai narator, apa peran dia nanti dalam lakon yang tengah ia ceritakan ini?
Di sebuah kampung kumuh di Jakarta entah kelurahan mana, Dey (Derry Neo) dan sobat baiknya Ba'on (G-Voiz) berjualan ganja. Mereka menyamarkan usaha ilegalnya itu dengan berdagang bubur. Tak perlu repot-repot keliling kampung, langganan mereka datang sendiri untuk membeli paket yang mereka jual hasil olahan Profesor (Norman Akyuwen) atau mereka biasa memanggilnya Prof.
Di luar profesi mereka sebagai pengedar ganja, Dey dan Ba'on yang di sekujur badannya penuh tato itu, tampak biasa saja layaknya warga kelas bawah umumnya. Satu lagi sobat Dey dan Ba'on, Sabun (Dallas Pratama), lelaki jangkung, kurus, berjenggot lebat, dan menariknya ia tak bisa lepas dari kopiah yang senantiasa menutupi rambut belah duanya. Ia alim, atau paling tidak begitulah ia menurut dirinya sendiri.
Tak seperti Dey dan Ba'on, Sabun berjualan DVD bajakan, hal yang ia anggap legal karena ketidaktahuannya atau memang sengaja tak mau tahu seperti kebanyakan masyarakat pada umumnya. Bila itu tak cukup menyentil, lewat narasi kocak yang disuarakan Mathias Muchus, kita tahu bahwa Sabun yang gayanya nyantri itu juga gemar menonton film porno, dan dari situ lah namanya bermula, ketika Dey pada satu waktu mendapati dirinya tengah menonton tayangan porno ditemani sebatang sabun.
Setelah serangkaian pengenalan tokoh yang lumayan menyita waktu, film ini mendapatkan turning point-nya ketika Ba'on menolong Mel (Tya Arifin) yang nyaris kena rampok. Sesaat setelah penyelamatan itu, ketika Mel menancap gas mobilnya, Ba'on menemukan ponsel Mel yang terjatuh. Ba'on membawa ponsel itu ke markas Prof, dan Dey mengusulkan untuk mengembalikan ponsel itu kepada Mel. Namun, ponsel Mel keburu berdering, seseorang meminta agar ponsel itu dikembalikan kepadanya.
Ba'on menemui orang itu dan alangkah terkejutnya. Sebab, orang yang meminta ponsel itu tak lain adalah orang yang mencoba merampok Mel. Menarik? Tunggu. Ba'on ternyata sudah lama jatuh hati pada Mel, namun pada satu kesempatan, Sabun, sobat baik Ba'on, berkenalan juga dengan Mel dan ia pun jatuh hati. Si perampok ternyata suruhan bu Yamin (Sania) yang curiga bahwa suaminya, Iwa (diperankan oleh Iwa K) selingkuh dengan Mel. Rumit?
Di luar segala kerumitan itu, masih ada Togar (John Parapat) sopir mikrolet yang memiliki dendam kepada si perampok ponsel. Dan, seakan itu belum cukup rumit, Togar ternyata kenal baik dengan Iwa. Lalu seiring film berjalan, keadaan jadi semakin rumit hingga kusut awut-awutan dan kita hanya mampu terduduk di kursi bioskop sambil memegang kepala sambil bergumam, "Ini apa-apaan?!"
Film ini ditulis, diproduseri, dan disutradari oleh Herman Kumala Panca. Seakan kredit itu belum cukup, ia juga bertindak sebagai penata gambar. Bertindak sekaligus sebagai sutradara dan penata gambar adalah hal yang tabu dalam produksi film, namun rupanya menjadi penata gambar adalah hal yang belum rela ia tinggalkan. Herman sebelumnya memang penata gambar, seperti terlihat pada sejumlah film Edwin seperti 'Kara, Anak Sebatang Pohon', 'Babi Buta yang Ingin Terbang' juga 'Kebun Binatang'.
Berbicara soal film hip hop, Filipina memiliki satu film genre ini yang cukup dapat diperhitungkan, juga tentu saja dapat disandingkan dengan 'Tak Sempurna'. Selain sama-sama bertema hip hop, kedua film tersebut diproduksi dan jadi representasi dari negara dunia ketiga. Jakarta dan Manila memiliki kultur sosiologi yang tak begitu berbeda. 'Tribu' (Jim Libiran, 2007) mampu memberi gambaran nyata akan kehidupan keras kota Manila, pertikaian antargeng, mencekam dalam balutan nuansa hip hop yang kental.
Tak hanya itu, 'Tribu' juga mampu bersuara lantang soal isu sosial, menyampaikannya dengan cara yang brutal. Herman Kumala Panca gagal memberi kesan itu lewat 'Tak Sempurna', mengingat sang narator di awal film yang sudah mewanti-wanti bahwa film ini berkisah soal kerasnya hidup di lingkungan yang benar-benar keras. Dalam naskah cerita yang ditulisnya, Herman seolah heboh sendiri, terlalu sibuk bermain-main dengan plot dan sepertinya terlalu banyak pesan yang hendak ia sampaikan. Alih-alih membuat aksi tragedi antargeng yang brutal, Herman pada akhirnya lebih memilih jalan parodi, meruntuhkan ketegangan yang dibangunnya sedari awal dengan gelaran aksi-aksi konyol sebagai penutup cerita.
Namun begitu, sebagai sutradara debutan, Herman cukup berhasil dalam mengarahkan para pemainnya. Hampir semua aktor bermain dengan baik. Norman Akyuwen sebagai Prof yang pengedar sekaligus pecandu ganja benar-benar selalu mencuri perhatian. Seolah ia sedang tak berakting, begitu menyatu dengan karakternya. Derry Neo dan G-Voiz secara mengejutkan, juga tampil mengesankan. Terlebih untuk G-Voiz sebagai Ba'on yang sepanjang film tak berdialog, namun lewat gestur dan sorot matanya penonton mampu memahami apa yang ia hadapi. Bravo untuk itu.
Dan, berseberangan dengan keruwetan plotnya, film ini ternyata memiliki dialog-dialog yang asyik. Hal ini cukuplah membuat Anda betah terpaku sambil ditemani iringan soundtrack hip hop dari sejumlah penampil film ini. Lalu, selagi kepala kita manggut-manggut menikmati irama musik, kita segera melupakan problema cerita film ini. Ah, memang tak sempurna, tapi asik kok!
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)