David, seorang jenius teknologi, membuat sebuah video proposal kepada MIT agar mereka memberinya beasiswa. David jelas seorang jenius. “Kamu mendapatkan otak ayahmu,” kata ibunya (Amy Landecker). David bisa membuat pesawat terbang hanya dengan sensor di tangannya. Dia pun diterima MIT dengan senang hati. Hanya saja tanpa beasiswa yang diinginkannya. David kecewa, adiknya Christina kecewa dan ibunya pun bersedih.
David akhirnya pergi ke loteng dan menemukan handycam mendiang ayahnya. Berusaha mencari ilham, David dan Chris menonton video di handycam tersebut dan menemukan sesuatu yang aneh. Dalam video dokumentasi ulang tahunnya yang ke-10, David melihat dirinya yang dewasa di sana. Tapi, Chris tidak percaya. Sedangkan dua sahabat David, Quinn dan Adam menelan klaim tersebut mentah-mentah. Dan, seperti yang bisa ditebak, mereka pun meluncur ke bawah tanah, menemukan tempat persembunyian alat ciptaan ayah David, dan...mereka pun pergi ke masa lalu!
Tidak ada yang salah dengan teknik found footage yang dilakukan oleh 'Project Almanac'. Josh Trank, sebelum dia menghentak lagi tahun ini lewat reboot 'Fantastic Four', melakukannya dalam 'Chronicle'. Bedanya terletak pada cara mereka menuturkan kisah basi menjadi fresh. Max Landis, penulis 'Chronicle', tidak hanya berhasil membawa penonton ke aura anak muda yang kuat, lengkap dengan keseharian mereka, namun juga berhasil menyeret penonton untuk ikut panik ketika semua keadaan menjadi tidak terkendali. Ditambah dengan Dane DeHaan yang komit untuk bermain dengan sangat gila, gimmick found footage dalam 'Chronicle' menjadi mudah diterima.
Sayangnya, duo penulis skenario Jason Harry Pagan dan Andrew Deutschman tidak bisa melakukannya dalam 'Project Almanac'. Klise bagian cowok nerd naksir dengan gadis cantik populer —dalam kasus ini karakter bernama Jessie (Sofia Black D’Elia)— memang tidak bisa dihindarkan. Namun, Pagan dan Deutschman masih berhasil untuk membuat Anda menyeringai. Hal-hal seperti keputusan karakter utamanya untuk menggunakan mesin waktu seperti pergi ke Lollapalooza untuk menonton Imagine Dragons juga menyenangkan. Begitu juga membeli lotere agar mereka bisa mendapatkan jutaan dollar dan menghabiskannya untuk membeli mobil convertible, dan memamerkannya ke sekolah demi mencapai popularitas.
Namun, film yang menurut jadwal mestinya rilis setahun yang lalu ini menjadi sebuah sci:fi remaja yang keteteran ketika pembuatnya memutuskan untuk menyeret sang tokoh utama untuk melakukan kesalahan dengan katalis sesepele cinta. Penggambaran David yang pintar dan rasional kontradiksi dengan keputusannya untuk membuat chain reaction yang menjadi konflik terbesar 'Project Almanac'. Berbeda dengan karakter Andrew dalam 'Chronicle' yang dari awal film memang digambarkan sebagai loner dan bermasalah. Pada akhirnya, film ini jadi kehilangan edgy-nya dan menjadi agak cemen.
Para pemerannya memang tidak memberikan kualitas akting yang luar biasa seperti Dane DeHaan, tapi paling tidak mereka semua memiliki chemistry yang cukup bagus. Penggunaan musik dan scoring dalam film ini juga menjadi bukti jelas bahwa teknik found footage adalah gimmick saja. Bandingkan dengan 'Cloverfield' yang jelas lebih konsisten. 'Project Almanac' memang bukan 'Back To The Future', apalagi 'Looper'. Film ini juga belum bisa menyaingi 'Chronicle' yang jelas menjadi kiblatnya. Tapi, tetap saja, bagi Anda penyuka sci:fi dengan semangat anak muda yang meledak-ledak, film ini perlu ditonton. Menyaksikan barisan anak muda kembali ke masa lalu hanya untuk rave party jelas sebuah hiburan yang menyenangkan.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)