'Tanah Mama': Ubi dan Kemiskinan (Perempuan) di Papua

Jakarta - 'Tanah Mama' merupakan film dokumenter terbaru dari Kalyana Shira Foundation --lembaga milik Nia Dinata yang sepertinya diniatkan khusus untuk menaungi film dokumenter yang dibuat atau diproduserinya. Lembaga ini sebelumnya sempat merilis 'Perempuan Punya Cerita' (2007) dan 'Batik, Our Love Story' (2011), keduanya film dokumenter yang sedikit banyak memperlihatkan kepada kita bahwa Nia Dinata peduli betul akan isu-isu sosial, lingkungan, kemanusiaan, dan juga peran perempuan. Nilai-nilai ini selalu menjadi landasan kuat bagi sejumlah film yang diproduksinya, termasuk dalam film 'Tanah Mama' yang kali ini disutradarai oleh debutan Asrida Elisabeth ini.

Film ini bercerita tentang sepenggal perjalanan hidup Halosina, ibu beranak empat yang tinggal di pedalaman Papua. Ia tengah menghadapi masalah pelik lantaran dituduh mencuri ubi dari ladang adik iparnya sendiri, dan oleh sebab itu, sesuai hukum adat yang berlaku, ia mesti mengganti rugi seharga satu ekor babi. Selain terus berupaya meminta maaf kepada adik iparnya, Halosina tak sanggup membayar denda itu sebab dirinya sudah ditelantarkan oleh suaminya yang kawin lagi.


Pembuat film ini merekam keseharian Halosina lewat pendekatan observasional, bukan 'tradisional' macam dokumenter buatan stasiun TV yang selalu menghadirkan wawancara tokoh menghadap langsung kepada kamera. Di film ini, sang tokoh utama kita seakan tak menyadari keberadaan kamera yang terus menguntitnya hingga ia kemudian tak risau segala gerak-geriknya ditangkap mata kamera. Kita sebagai penonton ikut mengamati dengan intim serta terlibat secara emosional terhadap perempuan tangguh ini. Hampir tak ada jarak yang menjauhkan kita darinya, seolah kita ini salah seorang dari anaknya saja yang selalu digendong ke mana pun ia pergi. Saat ia berbincang sambil agak marah kepada suaminya ihwal dirinya dan anak-anaknya yang sudah tak dipedulikan, kita ikut merasakan deritanya.


Pembuat film ini boleh jadi terpengaruh 'Negeri di Bawah Kabut'-nya Salahudin Siregar dalam meminjam cara bertutur, penempatan kamera serta interaksi antartokoh yang terekam pun menyiratkan hal itu. Namun, hanya sebatas itu saja, selebihnya 'Tanah Mama' menawarkan kisah yang tak kalah menarik untuk disimak serta dibaca bersama dalam ruang-ruang diskusi.


Menyaksikan kisah nyata dari tanah Papua ini sungguh sebuah pengalaman menonton yang penuh kesan, dan satu di antara yang mengesankan itu ialah adegan Halosina yang menyusui anak balitanya. Beberapa kali saat menyusui anaknya, payudaranya (sengaja) ditangkap kamera, dan ini satu pernyataan penting dari pembuat film bahwasanya menyusui anak adalah hal lumrah dan perlu dilakukan oleh setiap ibu.


Konon pada zaman dahulu saat bangsa ini masih belum merdeka, di tanah Jawa juga banyak ibu yang tidak malu serta dengan kesadaran penuh mau menyusui anaknya yang sedang lapar ketika berada di luar rumah. Kegiatan menyusui ini jauh dari kesan tak pantas atau tabu seperti yang terjadi pada ibu-ibu masa kini. Menyusui adalah urgensi yang tak bisa ditunda. Halosina lewat film ini memperkenalkan kembali kepada kita soal kearifan lokal bangsa yang sudah lama ditinggalkan itu.


Dan, bila mau ditelisik lebih jauh, ada dua kemungkinan mengapa Lembaga Sensor Film (LSF) tidak memotong atau menghapus bagian payudara Halosina yang frekuensi kemunculannya teramat banyak di film ini. Pertama, perlu dicatat bahwa close up payudara sudah dipastikan melanggar Pasal 19 ayat (3) butir ke-2 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film. Namun, close up payudara yang ditampilkan di film ini mungkin dianggap LSF sebagai bukan adegan yang dapat menimbulkan birahi, makanya ia lolos dari gunting sensor.


Atau, kedua, mungkin karena peraturan tersebut sudah dicabut dan tak berlaku lagi. Artinya, bila alasan kemungkinan pertama tadi valid, di masa mendatang dalam sebuah film kita bisa saja melihat payudara Julia Perez dengan karakter yang ia perankan misalnya sedang menyusui anak. Mungkinkah itu terjadi? Apabila adegan yang saya idam-idamkan itu ternyata kena gunting sensor juga, rasanya kita mungkin telah berlaku tak adil terhadap orang Papua, mengkastakan mereka ke dalam kelas tertentu, dan secara umum kita barangkali telah salah pula dalam memahami (tubuh) perempuan.


Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia


(mmu/mmu)