Seni Kontemporer Di Mata Kurator

Jakarta - Namanya Natasha Gabriella Tontey, sosoknya mungil dan dengan raut wajah yang kekanakan. Tapi jangan salah sangka, Natasha yang kelahiran 24 Agustus 1989 ini sebenarnya adalah seorang seniman dan fotografer yang karyanya sudah mengikuti berbagai pameran.

Karya seni instalasi yang dibuat oleh Natasha, telah dipamerkan di Dia.Lo.Gue artspace dan Ruang Rupa. Salah satu karyanya yang terkenal adalah potongan tubuh boneka plastik yang dilelehkan.


"Saya mencoba membawa seni dengan hal-hal yang paling dekat dengan saya, misalnya masa kecil saya," ujarnya kepada detikHOT (30/7/2013).


Bagi Natasha, seni memberinya ruang untuk menggambarkan realitas yang kadang tak mudah diungkapkan dengan kata. "Lewat seni saya bisa berkisah tentang ideologis, psikologis, maupun konsep dan estetis. Saya sendiri tergolong buruk saat mengutarakan sesuatu secara lisan dan tulisan."


Pameran karya jadi penting buat seniman seperti Natasha untuk unjuk karya. Karenanya dia sangat ruang-ruang pameran alternatif yang kini mulai bermunculan dan membuat seni jadi lebih membumi.


Sementara bagi dosen filsafat dan kurator, dan pemilik galeri Philo Art Space, Tommy F. Awuy, kemunculan ruang seni independen masa kini sangat jauh berbeda dengn kondisi di era 1990-an.


"Pada tahun-tahun itu Taman Ismail Marzuki (TIM) jadi pusat kesenian, karena tempat pameran masih sedikit. Kalau dulu, sekali kamu sudah pameran di TIM, itu sudah boleh sombong, sudah sah jadi seniman he...he...he...," ujarnya.


Menurut Tommy, kelahiran ruang alternatif sekarang ini, sangat dipengaruh oleh era postmodern. Artinya kini, sudah tidak ada lagi sebuah tempat yang mendominasi untuk dijadikan sebuah pusat kesenian. "Ini sangat positif, lahirnya banyak ruang pameran artinya semakin banyak kreator," tambahnya.


Sementara menurut Ade Darmawan, Direktur Ruang Rupa, peran seni secara sederhana memang adalah berkontribusi pada keindahan. Namun peranan penting lainnya adalah sebagai sebuah kritik sosial, pemikiran dan imajinasi. Seni bisa mengubah cara berpikir orang, memberi pertanyaan, pernyataan dan refleksi.


"Ketika seniman jadi instrumen saja, misalnya instrumen pasar, instrumen pemerintah, ini jadi bahaya, dia justru harus jadi duri dalam daging, harus selalu terus menerus menggoyahkan iman."


Selain menjabarkan deskripsinya soal seni, Ade menanggapi soal bagaimana ia menilai karya seni dalam seni kontemporer ini, dimana relativitas bagus atau tidak bagusnya sebuah karya sulit dipertanyakan.


"Gue memposisikan diri sebagai penonton dalam melihat karya. Sesederhana dia relevan atau enggak buat nafas lo hari ini. Kalau dia tidak memberikan kontribusi pemikiran, kritik, atau imajinasi , ya mari kita bilang itu buang-buang waktu," kata Ade lugas.


Yang sulit, kata Ade, adalah mengkategorikan sebuah karya seni bagus atau tidak. Biasanya dia kembali pada subjektivitas dirinya, dengan ukuran suka atau tidak. Menurutnya, kini masyarakat Indonesia sudah semakin apresiatif dengan seni.


Mereka mulai datang ke pameran, seni rupa pun menjadi lebih populer dan lebih mudah di akses. Ia sendiri cukup takjub, saat acara tahunan Ruang Rupa yang digelar tahunan di Galeri Nasional, yakni Jakarta 32 dan OK Video bisa mendatangkan hingga tujuh ribuan pengunjung.


(utw/fip)