Mau Jadi Kurator? Ini Rahasianya!

Jakarta - Di Indonesia memang belum punya fasilitas pendidikan formal yang melatih para calon kurator. Itu memang fakta yang cukup miris, ketika sebenarnya kebutuhan akan profesi ini lumayan luas.

Dalam sejarah kurasi seni dunia, sebelum ada studi bidang kuratorial, kurator biasanya diemban oleh orang yang memiliki gelar tinggi dalam bidang akademis. Misalnya doktor dari bidang filsafat, ilmu sejarah, sejarah seni, arkeologi, atau antropologi.


Namun, seiring perkembangan dunia seni barat yang memiliki keteraturan pada sistem dan strukturnya munculah studi khusus kurasi pertama kali di Inggris. Sejumlah kampus yang menyediakan studi kurasi di Inggris antara lain Royal College of Art, The Courtauld Institute of Art, Kingston University, Goldsmiths College, University of London.


Sementara, Indonesia yang sudah memiliki perguruan tinggi khusus studi seni, seperti Institut Kesenian Jakarta dan Institut Seni Indonesia, pendidikan untuk menjadi kurator belum tersedia.


"Waktu saya dan teman-teman mengorganisasi pameran di Japan Foundation, enggak ada kuratornya. Kita jadi belajar dari praktek gimana mengkurasi dalam penyelenggaraan pameran. Kan juga enggak diajarin di kampus," kata Asep Topan, kurator muda, jebolan Institut Kesenian Jakarta.


Hal ini pun diakui oleh Ade Darmawan, ketika membahas soal Ruang Rupa yang ia dirikan bersama teman-temannya sesama seniman pada tahun 2000 silam. "Kenapa kita membuat pelatihan kurator seni, karena secara akademik kita itu enggak punya, kalau di luar itu ada curatoral studies, jadi disini masih bolong banget sebenarnya" ujarnya.


Ya, dengan kesadaran ini, sejak tahun 2008 Ruang Rupa menggelar pelatihan kurator seni dan penulisan kritik seni, tiap satu tahun sekali. Awalnya pelatihan dengan kapasitas 15 orang ini tidak dikenakan biaya. Baru dua tahun terakhir peserta pelatihan yang dilakukan selama dua minggu ini, dikenakan biaya sekitar Rp. 300 ribu.


Dalam pelatihan kurator itu, seniman muda akan mendapat materi soal sejarah seni rupa, diajari cara menganalisa karya, mempresentasikan karya dan mengemas karya untuk pameran. Ini kembali pada tugas kurator, yakni untuk memberikan konteks pada karya seni.


Pelatihan ini cuma satu dari segudang aktivitas Ruang Rupa. Untuk itu, Ade yang menjabat sebagai Direktur Ruang Rupa, coba menjelaskan divisi yang mereka miliki. Pertama adalah Artlab, basisnya adalah proyek seni, kolaborasi dan isu urban.


Tim Artlab sendiri baru pulang dari Sydney dan akan segera melakukan kolaborasi karya di Stockholm. Divisi yang kedua adalah, dukungan dan promosi, ini ditujukan bagi para seniman muda. Galeri, kegiatan dwi tahunan bernama Jakarta 32, pelatihan penulisan kritik seni dan pelatihan kurator seni ada dalam naungan divisi ini.


"Ini untuk anak-anak muda, yang baru mau coba. Seperti Jakarta 32 itu eksibisi yang ditujukan untuk mahasiswa," ujarnya.


Divisi yang ketiga adalah pengembangan video art. Divisi ini fokus pada seni video, pengarsipan karya dan rutin melakukan eksibisi bernama OK.Video setiap dua tahun sekali di Galeri Nasional. Acara OK Video sendiri telah diikut oleh berbagai peserta dari 50 negara lain.


Terakhir adalah divisi penelitian dan pengembangan, yang menerbitkan sebuah jurnal online dari seni kontemporer. Semua divisi ini dibuat sinergi, dan diharapkan bisa terus membekali seniman agar mampu menjadi seorang manusia yang utuh.


Kini Ruang Rupa dikelola oleh 12 orang. Untuk anggota, tidak ada keanggotaan, karena ini bukanlah sebuah komunitas. Namun 'jebolannya' sudah ada dimana-mana, dan menurut Ade, mereka semua terbukti mampu mengorganisir sebuah komunitas serta proyek yang berkenaan dengan seni.


Ruang Rupa kental dengan konteks urbannya, menurut Ade ini karena apa yang dikerjakan menjadi karya harus berhubungan dengan bagaimana kita merespon lingkungan.


Metode yang ia terapkan disini pun berbasis riset. Ruang Rupa yang kini semakin dikenal baik di negeri sendiri maupun secara internasional, sebenarnya terbentuk dengan modal patungan para pendirinya.


"Patungan masing-masing Rp 100 ribu untuk membuat organisasi. Terus kita bikin penggalangan dana, dengan ajak teman-teman menyumbang karya, ini diadakan di Galeri Cemara. Setelahnya, bisa simpan uang untuk sewa rumah, yang pertama di Kompleks Garuda, Pasar Minggu."


Dengan agenda program rutin mereka, Ade mengutarakan niatnya untuk menjadikan Ruang Rupa sebagai sebuah sekolah. "Ya, dalam beberapa tahun kedepan kita akan bikin sekolah sih, ha-ha-ha. Ya sebenarnya sudah banyak yang menanyakan dan dukung," ujarnya.


Namun, ia kembali menjelaskan bahwa pada dasarnya pendidikan dengan cara mereka sendiri sebenarnya sudah berjalan bak sekolah. "Targetnya jadi produser budaya, jadi enggak hanya bisa bangun jaringan, membuat karya, tapi bisa jadi penulis dan kurator."


(utw/fip)