Diadaptasi dari salah satu saga yang menjamur pasca-Twilight karya Cassandra Clare, 'Mortal Instruments: City of Bones' adalah contoh bahwa tidak semua buku young adult laris difilmkan.
Film ini mengikuti perjalanan seorang gadis cantik bernama Clary (Lily Collins). Seperti gadis gaul pada umumnya, ia tinggal di kota seeksotis New York City dan dibesarkan seorang diri oleh perempuan yang juga merupakan seorang pelukis, Jocelyn (Lena Headey).
Hari itu Clary pergi bersama sahabatnya, Simon (Robert Sheehan) untuk merayakan ulang tahunnya. Mereka pun memutuskan untuk masuk ke sebuah klab yang dipenuhi dengan orang-orang berkostum gothic. Sampai akhirnya dia menyaksikan pembunuhan oleh seorang lelaki misterius (Jamie Campbell Bower). Clary berteriak keras. Orang-orang di klab tersebut tentu saja menoleh ke arahnya dan mencari tahu apa gerangan yang sedang terjadi.
Simon mendekatinya, menanyainya, yang membuat Clary kebingungan karena tidak ada satu pun selain dirinya yang melihat kejadian tersebut. Keesokan harinya Clary tetap melihat sosok misterius tersebut yang ternyata bernama Jace. Jace adalah seorang Shadow Hunter, manusia setengah malaikat yang bertugas untuk membunuhi iblis yang berkeliaran di dunia.
Setelah itu, semakin banyak "ternyata" yang muncul: bahwa ternyata ibunda Clary juga seorang Shadow Hunter, dan Clary pun -ternyata- memiliki kekuatan yang sama. Diculiknya Jocelyn membawa Clary kepada sebuah dunia baru yang menunggunya. Dan, sebuah takdir yang tak bisa dielaknya.
Jangan salah, walaupun tak semembosankan 'The Host' yang dirilis awal tahun ini, 'Mortal Instruments: City of Bones' bukanlah film yang bagus. Sekali lagi, film terbaru 'Percy Jackson' jauh lebih mendingan. Salah satu kesalahan dari film ini adalah kenyataan bahwa penulis skripnya –Jessica Postigo Paquette– tidak tahu bagian mana (dari novel) yang harusnya dipotong, dan bagian mana yang harus dipanjangkan.
Terlalu banyak 'penampakan' dalam film ini –vampir, werewolf, Shadow Hunter, malaikat, iblis– yang ingin nampang. Belum lagi detail-detail kecil seperti rune, mantra dan lain sebagainya. Berbeda dengan Harry Potter yang memiliki waktu sepanjang 8 film untuk memperkenalkan karakternya dengan jelas, 'Mortal Instruments: City of Bones' terasa seperti hanya ingin pamer dengan banyaknya makhluk eksotis, tapi lupa bagaimana cara membuat mereka terlihat penting dan berhubungan dengan plot film.
Dengan kostum serba hitam dan superketat, film ini mengharapkan penggila 'Twilight' akan meliriknya lewat cinta segitiga dan kostum yang seksi. Sayang, bahkan dengan sub-plot LGBT dan inses, 'Mortal Instruments: City of Bones' tetap tampil kurang bersemangat. Adegan klimaksnya ketika Clary berhadapan dengan sang penjahat pun terasa tidak bergigi.
Meskipun begitu memang ada beberapa dialog yang cukup lucu. Bagi para remaja, 'Mortal Instruments: City of Bones' merupakan tontonan yang tidak buruk-buruk amat. Tapi, bagi Anda yang tidak mentoleransi chemistry aktor yang setengah-setengah, kisah cinta segitiga yang tanggung dan dua adegan ciuman yang biasa saja, sebaiknya tunggu saja film ini tayang di TV.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)