'Sule Detektif Tokek': Ketika Sule Mencoba Menorehkan Sejarah

Jakarta - Membaca judulnya, harusnya kita teringat film-film komedi era 70-an semisal 'Ateng Raja Penyamun' (Pitrajaya Burnama, 1974), 'Ateng The Godfather' (Hasmanan, 1976), 'Benyamin Spion 025' (Tjut Djalil, 1974), 'Benyamin Raja Lenong' (Syamsul Fuad, 1975). Judul-judul itu memakai nama aktor utamanya sebagai bagian yang penting dan modal utama untuk menarik minat penonton. Bahkan, film-film yang dibintangi oleh grup lawak Warkop DKI, aktor-aktornya berperan sebagai diri mereka sendiri: Dono sebagai Dono, Kasino sebagai Kasino, dan Indro sebagai Indro. Pun masih ada Doyok, Kadir dan sejumlah komedian lain yang menggunakan nama mereka sebagai judul film, dan memerankan diri masing-masing.

Hal itu berbeda sekali dengan yang terjadi di Hollywood. Jim Carey tak pernah berperan dalam satu pun film yang dibintanginya sebagai Jim Carey, dirinya sendiri. Dalam 'Ace Ventura: Pet Detective' (Steve Oedekerk, 1994) ia berperan sebagai Ace Ventura, dalam 'The Mask (Chuck Russell, 1994) ia berperan sebagai Stanley Ipkiss, dan dalam 'Liar Liar' (Tom Shadyac, 1997) ia beperan sebagai Fletcher Reede. Maka, inilah keunikan dunia film komedi kita. Sule, sebelumnya berperan dalam 'Sule, Ay Need You' (Cuk Fk, 2012), kini dalam film teranyarnya 'Sule Detektif Tokek' mencoba untuk menoreh sejarahnya sendiri.


Film dibuka lewat aksi Sule sebagai detektif paruh waktu yang berhasil menangkap pelaku kejahatan di sebuah pasar modern. Ia disewa oleh pengelola pasar. Ini menjadi semacam gelaran aksi pembuka seperti dalam film-film James Bond sebelum sang agen 007 itu dihadapkan pada misi yang sesungguhnya. Sule pun menunjukkan aksinya langsung di menit pertama, memperkenalkan dirinya sebagai seorang agen Palu Basah -- "Apa yang lu mau, gue bisa!" Begitu motto-nya, dan jangan tanyakan apa hubungan 'Palu Basah' dengan motto tersebut, untuk disebut sebagai akronim saja tak memenuhi kaidah bahasa.


Tentu saja saya berlebihan dengan menyebut film James Bond sebagai pembanding, karena film ini sebenarnya tak ada pembandingnya, dalam artian yang paling buruk, dan tak memiliki jalan cerita yang berarti. Sule disewa oleh seorang gadis bernama Marina (Poppi Sofia) yang entah bagaimana caranya mengetahui nomor ponsel Sule. Ia meminta Sule untuk menjaga tokek kesayangan papanya yang bernilai ratusan juta agar tidak jatuh ke tangan Mr. Bete (Joe "P Project"), seorang kolektor tokek yang selalu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya.


Sepanjang film kita disuguhi lawakan-lawakan basi semisal, "Terus gue harus koprol gitu?" disertai tingkah slapstick yang sangat garing dari hampir semua karakter. Adegan menyuruh anak cium tangan tapi malah si bapak yang mencium tangan sendiri, juga adegan Sule yang memanjat pagar dengan susah payah padahal pagarnya tak terkunci, sudah sering kali kita saksikan di layar kaca, hampir setiap hari dan gratis. Lalu, untuk apa kita bersedia membayar karcis bioskop demi melihat hal yang sama?


Penampilan Mpok Nori sebagai ibunda Sule sama sekali tak memberi greget. Alih-alih menambah kesegaran, ia hanya mampu memekakkan telinga penonton seperti yang selalu ia lakukan di setiap penampilannya di televisi. Pun begitu dengan Iki (Rizki Sule), anak Sule yang berperan sebagai anak Sule...ah, ini hanya menambah keadaan menjadi semakin menggelikan saja.


Angling Sagaran sebagai penulis naskah dan Reka Wijaya yang duduk di kursi sutradara, serta produser Erna Pelita adalah biang keladi dari semua lelucon ini. Mereka membuat film ini tak ubahnya satu episode sinetron stripping berdurasi 30 menit, sesederhana itu. Entah apa yang ada di benak si pembuat film untuk memberi warna merah pada daun-daun pepohonan, seakan film ini disunting menggunakan aplikasi Instagram. Banyak sekali frame yang dibuat freeze lalu dibikin seperti sebuah panel komik penuh warna, menandai setiap pergantian adegan. Hal ini tentu dimaksudkan untuk tampak keren atau memberi kesan ceria, namun segala upaya itu tak menambah kelucuan atau nilai lain apapun.


Film-film lawas yang dibintangi komedian legendaris seperti Benyamin S, Ateng, Trio Warkop DKI, selain mengandalkan kepiawaian akting dan karisma mereka sebagai komedian, juga ditopang oleh naskah yang mumpuni dan disutradarai dengan baik pula. 'Sule Detektif Tokek' adalah coreng dalam sejarah film komedi kita, dan Sule, alih-alih menoreh sejarahnya sendiri, ia malah mencoreng mukanya, dan coreng itu tak akan mudah untuk dihapus.


(Shandy Gasella, pengamat perfilman Indonesia)


(mmu/mmu)