Budaya sebagai sebuah kekuatan lembut untuk menjadi alat diplomasi sudah lama dikenal dan digunakan sebagai senjata oleh Amerika Serikat. Ini tentu memiliki keterbatasan juga. Dengan senjata dan pemaksaan, sebuah undang-undanga maupun perjanjian bisa tercipta. Sementara dalam penularan budaya, tidak ada standar hitungnya.
Namun di balik batasan itu, diplomasi budaya sedang banyak digunakan hari ini. Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh British Council, bertajuk Influence and Attraction: Culture and the Race for Soft Power in the 21st Century, mendokumentasikan ini dengan baik.
Laporan yang dituliskan oleh John Holden itu menyebutkan bahwa di Asia, Timur Tengah, India dan China cara diplomasi ini mulai dijadikan fokus dan mereka menggarapnya dengan serius.
China menghabiskan jutaan dolar untuk Confucius Institutes mereka. Kurang dari operasinya selama 10 tahun, kini mereka sudah memiliki 300 institut yang ada di seluruh dunia, mempromosikan budaya dan bahasa China. Korea juga bersinar, mereka membuat investasi besar pada proyek budaya berskala besar. Brazil menyajikan kehebatan dunia sepak bola dan musik sambanya. Saudi Arabia menghabiskan banyak biaya untuk museum dan galeri baru.
Simposium pada diplomasi budaya, digelar di Amerika Serikat tahun lalu. Menyuarakan tentang apa yang disebut sebagai, "Penggunaan dari diplomasi budaya dan kekuatan lembut dengan cara yang lebih efektif untuk berkontibusi pada dunia yang harmonis dan saling terkait," kata Dr Tiffany Jenkins, sosiolog dan penulis, dilansir BBC (22/05/2014). Tiffany mengkiritisi penyelenggaraan ini, menurutnya hal ini bisa menjadi salah.
Saat Amerika mengirim Jazz dan eskprisionisme abstrak ke sebuah tur, mereka memiliki ide yang jelas mengenai apa yang mereka yakini dan seni akan memberikan pengaruhnya, tentang cara hidup Amerika, kebebasan dan pencapaian akan kebahagiaan. Mereka juga tahu siapa musuhnya. Namun kasus yang terjadi di masa ini berbeda. Nilai apa yang ingin dipromosikan budaya Barat sekarang ini dinilai tidak terlalu jelas.
Mungkin ketidakjelasan dan kebingungan ini yang membantu mengungkapkan kenapa beberapa pihak kini memilih kekuatan yang lembut itu untuk memberikan arah. Tentunya ada hal besar yang diharapkan dari itu.
Laporan bertajuk Cultural Diplomacy yang diterbitkan oleh Demos, Inggris, mengajak kita melihat bahwa budaya bisa menyelesaikan masalah yang terjadi di Timur Tengah, terorisme, dan perubahan iklim. Namun ada juga bahaya dengan menjadikan budaya untuk selesaikan semuanya.
Sebelum menyebutkan lebih banyak kekuatan yang lembut, jangan lupakan bencana dari kebijakan asing terbaru. Intervensi kontroversial di Iraq dan Afghanistan. Tiffany menggaris bawahi penggunaan kekuatan lembut ini. "Mereka yang menuntut bahwa pekerjaan soft power dalam kepentingan kekerasan adalah orang yang harus ditantang," katanya.
(ass/ich)