Bandingkan dengan masa kamera rekam analog, yang hasilnya baru bisa dilihat setelah film selesai diproses dengan berbagai cairan kimia di kamar gelap. Kamera rekam atau video digital kini memang menawarkan kemudahan yang bisa diakses siapa saja. Tapi bukan tanpa risiko.
"Tapi mungkin yang belum disadari oleh teman-teman saya, film digital itu penyimpanannya belum bisa dibilang aman. Misal disimpan di hard disk, ini kan rentan jika tidak bisa diakses atau hilang ya hilang begitu saja," kata Edwin, kepada detikHOT di Gedung Lab Kamar Gelap, PFN, Otista Jakarta Timur.
Edwin pun menjelaskan, ada opsi penyimpanan yang advance untuk file digital hasil rekam video kita. Namun ini pun belum bisa menjadi penjamin paling aman.
"Bahkan di tingkatan yang maju seperti sistem penyimpanan digital yang bagus misalnya namanya LTO, ini juga harus update setiap berapa tahun sekali dan butuh biaya juga. Jadi sangat ada risiko untuk kehilangan hasil kerjanya dan ini mengkhawatirkan," paparnya.
Kini, dengan dibuatnya Lab Laba-Laba, Edwin berencana bisa menjadikan lab yang telah mati suri di gedung PFN ini bisa menjadi semacam tempat yang melayani jasa transfer film dari digital ke film seluloid.
Namun untuk sampai ke sini, Edwin pun menjelaskan ia masih akan melakukan banyak ekperimen, latihan dan berbagi info dengan ahlinya. Bandingkan dengan jejak film seluloid yang masih ditinggalkan di gedung ini saja. Dalam sebuah ruangan yang bertabur gelap, kita masih bisa temui tumpukan kaleng-kaleng penyimpanan rol film seluloid di sini.
Dengan bau kimia yang menyengat tajam, ruangan yang terbengkalai sekitar 10 tahun ini masih merekam jejak dunia film Indonesia pada berbagai era terdahulu.
Ada jamur yang hinggap di bagian dalam kaleng, yang menempel di film seluloid itu. Namun menurut Edwin ini bisa dibersihkan dan diputar kembali nantinya. Gambar yang sudah terekam rol film seluloid, tak akan punah oleh hantaman waktu. Ini juga tahan tanpa sebuah perawatan khusus yang tentunya memakan biaya.
(ass/utw)