'Optatissimus': Tabrakan Maut, Gadis Misterius dan Alegori Tuhan

Jakarta - Andreas (Rio Dewanto, 'Modus Anomali', 'Hello Goodbye') adalah sosok pria yang semasa hidupnya selalu dirundung keberuntungan. Selalu saja setiap kesulitan yang menghampirinya teratasi tanpa kendala berarti. Tatkala mobil yang ia kendarai mogok di tengah jalan nun jauh dari keramaian, tiba-tiba ada orang yang menolongnya. Kebetulan saja orang itu lewat, begitu ia selalu beranggapan tentang kemujuran-kemujuran yang menjamahnya.

Setiap kali ia tertolong lewat serangkaian kebetulan, ia tak pernah mengingat Tuhan, apalagi berterima kasih kepada-Nya. Tidak pernah, hingga satu saat bidadari keberuntungannya lengah, seperti pada hari itu saat ia menyetir mobil hendak pulang. Di tengah perjalanan, tanpa sengaja ia menabrak orang, dan kejadian naas itu hampir merenggut nyawa orang yang ditabraknya.


Ketakutan segera saja menghampirinya; ketakutan yang pada akhirnya menuntunnya kembali mengingat masa-masa silam, masa-masa ketika ia pernah mengenal hal-hal yang selama ini ia hiraukan. Kemudian kita dibawa mundur, menyaksikan masa lalunya yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Lalu film bergulir menelikung lewat rangkaian metafora, semata hanya untuk menghadirkan plot jalinan kisahnya. Tak ada jalan lain.


Kisah Andreas adalah kisah pengalaman spiritual tentang seseorang yang menelusuri diri, bukan lewat pendakian gunung atau perjalanan menembus hamparan padang savana. Dirmawan Hatta sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, cukup cerdik merangkai metafora pengalaman batiniah Andreas yang kasat mata itu ke dalam jalinan kisah yang terstruktur apik.


Konflik film bermula saat Andreas menemui Piet (Landung Simatupang, 'Soegija', 'Sang Penari'), seorang koster gereja, sesaat setelah insiden tabrakan. Sesungguhnya pada saat itu pun film sudah menemukan resolusinya, di antara sajian makan malam yang disediakan oleh Piet lalu mereka memanjatkan doa bersama. Adegan ini dipenggal untuk kemudian diletakkan di paruh akhir, membuatnya menyisakan sekat. Sekat inilah yang dimanfaatkan oleh Dirmawan Hatta untuk menjejalkan kisah-kisah umpama bagi perenungan Andreas lewat petualangan kilas balik yang kita saksikan.


Jauh sebelum insiden tabrakan itu, Andreas pernah berada dalam kesulitan pada satu pendakian gunung. Ia tersesat, kehausan dan kakinya terkilir. Dalam situasi pelik itu, di tengah hutan dan cuaca dingin, ia bertemu dengan seorang gadis misterius (Nadhira Suryadi, 'Madre'), gadis yang kemudian menyembuhkan kakinya yang terkilir, lalu menuntunnya menemukan telaga untuk menghapus dahaga. Mereka juga berbincang tentang hal-hal tak pernah dibicarakan oleh Andreas sebelumnya.


Pada penggalan adegan lain di kemudian waktu, Andreas bertemu kembali dengan gadis misterius tadi. Sambil duduk dalam ayunan yang menggantung di dahan pohon, gadis itu berujar bahwa ia mengenal Andreas dan mengetahui segala rahasianya. Sebuah pilihan yang amat berani dan cukup menyegarkan dalam khasanah film Indonesia kontemporer, seorang gadis misterius tadi ditampilkan sebagai alegori dari wujud Tuhan. Lewat penceritaan sarat tafsir inilah kita dapat menyelami pengalaman batin Andreas, pengalaman yang sulit mewujud lewat nalar harafiah.


Film dibingkai dalam shot-shot kamera yang cantik hasil tataan Joseph Fofid ('Dealova', 'Rindu Kami Padamu'). Tangkapan kameranya memberi rasa tersendiri, dan dengan asik mampu menerjemahkan makna-makna tersirat dari naskah cerita yang diilhami oleh kisah nyata ini. Bahkan bingkai gambarnya terkadang begitu puitis, menyatu dengan rangkaian narasi yang banyak diucapkan oleh Andreas di sepanjang durasi film.


Dirmawan Hatta yang sebelumnya menulis naskah 'The Mirror Never Lies' (Kamila Andini, 2011) dan 'King' (Ari Sihasale, 2009) membuktikan bahwa ia tak hanya piawai menulis cerita, namun juga mampu membesut karya debut penyutradaraannya ini lewat cara yang tak banyak ditempuh oleh sutradara lain. Dan itu keren.


Rio Dewanto lewat sejumlah wawancara dengan media boleh saja berkilah dengan menyatakan bahwa film yang dibintanginya ini bukanlah film rohani. Namun, apa yang tersaji di layar lewat simbol-simbol agama yang tak terbantahkan berkata langsung tanpa perlu pemaknaan ulang. Film rohani atau bukan, 'Optatissimus' -- yang terjemahannya berarti "doa pertama" -- bolehlah juga dimaknai sebagai film pertama dari Dirmawan Hatta yang cukup mengesankan, (sekali lagi) lewat cara yang tak banyak dilakukan oleh sutradra lain.


Shandy Gasella, pengamat perfilman Indonesia


(mmu/mmu)