'OZ The Great and The Powerful' (3D): Perjalanan yang Hampa

Jakarta - Pernahkah Anda menonton film keluarga yang fenomenal 'The Wizard of Oz' yang dirilis pada 1939? Film yang diadaptasi dari karya klasik L. Frank Baum itu tidak hanya berhasil memperkenalkan Judy Garland sebagai bintang paling bersinar kala itu, tapi juga mempopulerkan lagu 'Over The Rainbow' dan juga quote "Toto, we’re not in Kansas anymore."

Pada 2013 ini, Sam Raimi memperkenalkan James Franco sebagai Oz dalam prekuel 'The Wizard of Oz' yang diberi judul 'Oz: The Great and The Powerful'. Oz adalah seorang pesulap dan juga playboy ulung. Dia begitu ahli memainkan ilusi dan menipu banyak perempuan cantik, termasuk berhasil memperdaya Annie (Michelle Williams).


Bencana terjadi ketika seorang gadis kecil lumpuh yang menjadi penonton meminta Oz untuk membuatnya kembali bisa berjalan. Oz, selicik dan seculas apapun kelihatannya, trenyuh dengan kondisi gadis kecil itu. Tentu saja dia tidak bisa membuat gadis itu kembali berjalan. Oz pun meninggalkan panggung, mendapatkan berbagai jenis lemparan dan akhirnya berakhir di sebuah balon udara.


Keadaan tidak menjadi lebih baik begitu Oz berada dalam balon udara. Oz terombang-ambing di dalam balon udara tersebut dan terseret tornado yang akhirnya membawanya ke sebuah negeri aneh yang bernama...Oz juga.


Oz kemudian dengan cepat menyadari bahwa seorang penyihir jahat sedang menguasai kota di negeri itu. Sebuah ramalan mencatat bahwa akan datang seorang penyihir hebat yang akan menyelamatkan mereka semua. Glinda The Witch (Michelle Williams) percaya bahwa Oz adalah orangnya. Dan kini nasib kota itu ada di tangannya.


Sam Raimi adalah sutradara yang hebat. Lupakan jilid ketiga 'Spider-Man' yang buruk, dua film pertama 'Spider-Man' yang dibintangi oleh Tobey Maguire dan Kirsten Dunst adalah salah satu film adaptasi komik Marvel yang paling berkesan. Film terakhirnya, 'Drag Me To Hell', adalah sebuah horor homage 80-an yang tidak hanya menghibur tapi juga cukup membuat banyak penonton mencengkeram kursi bioskop erat-erat. Lalu kenapa 'Oz: The Great and The Powerful' terasa seperti sebuah kegagalan?


Jawabannya adalah skrip yang lemah. Ditulis berbarengan oleh David Lindsay-Abaire dan Mitchell Kapner, film ini tidak memberikan sebuah cerita yang kuat. Berbeda dengan perjalanan Dorothy dalam 'The Wizard of Oz' yang penuh dengan pencarian jati diri, perjalanan Oz ke dunia Oz terasa seperti tidak bermakna dan super-random. Ending-nya pun tidak menjelaskan apapun yang terjadi di dunia nyata.


Apakah Oz kembali ke dunia nyata dan kembali menjadi orang yang baik? Atau, kebaikannya hanya berlaku di dunia Oz? Bagaimana hubungannya dengan Annie berakhir?


Dan itu semua diperparah dengan permainan para bintang yang ala kadarnya. Mila Kunis, Rachel Weisz dan Michelle Williams memang luar biasa cantik. Namun sayangnya permainan mereka terasa seperti seniman gaji buta ketimbang memberikan penampilan berkesan. James Franco memang tidak buruk namun dia tidak mempunyai cukup kharisma yang kuat untuk membuat sosok Oz memukau. Walaupun Zach Braff sebagai Finley cukup mengundang tawa.


Meskipun begitu, penonton akan tetap terkesima dengan film ini karena Sam Raimi benar-benar habis-habisan membuai penonton dengan visualnya yang luar biasa. Gimmick aspek rasio 4:3 dan warna hitam putih di awal film merupakan keputusan yang menarik untuk membuat penonton bernostalgia dengan 'The Wizard of Oz'. Dan, begitu James Franco memasuki dunia Oz aspek rasionya langsung berubah menjadi 16:9 dan penuh dengan warna-warna yang supercerah.


Efek 3D-nya juga lumayan membuat banyak hal terasa seperti menusuk wajah penonton. Walaupun, memang tak berpengaruh apa-apa terhadap keseluruhan cerita. Kesimpulannya, 'Oz: The Great and The Powerful' tidak buruk-buruk amat. Akan tetapi film ini membuat citra kota Oz yang begitu indah, penuh dengan kenangan dan keajaiban menjadi terasa seperti soto ayam yang hambar.


Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.


(mmu/mmu)