Bersama Komunitas Guntur 49, Isti kembali mementaskan dramatic reading berjudul 'Bukan Negara Setia' itu di Jakarta akhir pekan lalu. Isti pun menceritakan lakon yang ditulisnya tersebut.
Lakon 'Bukan Negara Setia' menceritakan tentang perebutan kekuasaan Arya Penangsang dan Sultan Hadiwidjaya, yang terjadi pasca runtuhnya kerajaan Demak pada abad 16.
"Naskah ini diolah sehingga penampilan dan angle-nya berbeda dari sebelumnya. Jadi lebih face to face antara Aryo Panangsang dengan Sultan Hadiwidjaja yang mengacu di konteks perselisihan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan KMP (Koalisi Merah Putih)," katanya di Merdesa Cafe, Jakarta.
Alkisah, setelah Sultan Trenggono wafat, Arya Penangsang terobsesi untuk merebut kekuasaan dari hegemoni Sultan Hadiwijaya. Di mata Arya Penangsang, Hadiwijaya, tak lebih dari menantu Sultan Trenggono, yang tidak punya hak untuk menduduki tahta apalagi memindahkan Kerajaan Demak (yang ada di pantai utaraJawa Tengah) ke pedalaman wilayah Pajang (sebelah barat Surakarta). Perlawanan terus dilakukan. Namun, selalu kandas.
Meski cerita lama, namun unsur kekiniannya sama seperti kondisi sosio-politik sekarang. Isti pun ingin membangun kembali metafora 'dunia yang hilang' dengan arti negara yang tak taat konstitusi.
"Negara ini hanya peduli pada rakyatnya setiap lima tahun sekali atau saat Pemilu. Politik di Indonesia menjadikannya tak ubah seperti pekerja seks komersil, coblos, bayar, dan selesai," tambahnya lagi.
Sebelumnya, pementasan dramatic reading ini menampilkan tokoh-tokoh seniman asal Yogyakarta dan Jakarta. Namun, pentas kali ini berkolaborasi dengan Awan Sanwani (Bengkel Teater), Santoso Amin (Teater Jakarta), Eko Winardi (seniman Bali). Serta para anggota Komunitas Guntur 49 seperti Evelyn Aurora, J. Sumarlin, Sunarto, Hadi Joban, dan Rambo.
"Para seniman dari yang senior sampai junior saya gabungkan dalam dramatic reading kali ini," katanya.
(tia/mmu)