Ada film Indonesia yang digarap dengan baik dan berkualitas seperti 'Sang Penari' (2011), tapi sepi penonton. Padahal, film itu diperbincangkan ramai di media sosial, dan di kalangan insan perfilman.
Bila mengutip kicauan sutradara Joko Anwar di Twitter beberapa waktu lalu, mungkin ada benarnya. "Film Indonesia lebih banyak diperbincangkan daripada ditonton."
Tetapi, beberapa film Indonesia bertema horor (yang kadang dipandang sebelah mata oleh penonton kelas menengah) sempat mendapatkan penonton yang cukup signifikan. Bahkan 'Arwah Goyang Karawang' yang penuh kontroversi, menduduki peringkat kedua sebagai film Indonesia terlaris 2011 dengan 727.540 penonton.
Kemudian rasa optimis kembali muncul. Setelah era 'Laskar Pelangi', 'The Raid' yang terlebih dulu mendunia, mencetak hampir dua juta penonton. Diikuti kesuksesan 'Habibie dan Ainun' serta '5 Cm'.
Para filmmaker baru bermunculan. Ide-ide kreatif juga semakin berkembang. Mulai dari menjamurnya film-film omnibus, hingga keberanian beberapa pelakon yang biasa tampil di depan kamera, beralih ke belakang layar sebagai sang pembuat.
Tapi lagi-lagi, penonton film Indonesia kurang tertarik dengan ramuan tersebut. Penonton sepi kemudian berimbas pada cepatnya masa tayang di bioskop.
"Film Habibie Ainun yang ditonton oleh lebih dari 4 juta pasang mata itu, jadi tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang ratusan juta jiwa. Sisanya kemana? Itu pertanyaan yang sama-sama kita ajukan," ujar pengamat perfilman Shandy Gasella kepada detikHOT.
Tak banyak film Indonesia yang mampu bertahan di bioskop lebih dari dua minggu. Apalagi film-film itu harus bersaing dengan Hollywood yang menginvasi lewat film-film mega bujet paling ditunggu tiap musim panas.
Hal tersebut sempat dikeluhkan beberapa filmmaker, salah satunya Luna Maya yang saat ini sedang menikmati perannya sebagai sutradara. Luna sempat gigit jari ketika Minggu (2/6/2013) lalu ingin menggelar acara nonton bareng film 'Pintu Harmonika'yang disutradarainya bersama Ilya Sigma dan Sigi Wimala. Ternyata filmnya sudah tak tayang setelah berada di bioskop selama seminggu.
"Ini murni karena faktor bisnis yang dijalankan oleh 21 selaku pemain tunggal, Blitzmegaplex tak diperhitungkan karena jumlah layar yang dimilikinya jauh lebih sedikit ketimbang 21 yang tersebar di pelbagai kota. Ini hal yang buruk. Suatu film yang cepat turun layar belum tentu karena filmnya jelek," kata Shandy lagi.
Menurut Shandy, di beberapa negara peran pemerintah cukup signifikan dalam menjamin keberlangsungan film produksi negerinya. Mereka memberikan jaminan, misalnya membuat peraturan pemerintah bahwa film produksi dalam negeri harus diputar di bioskop setidaknya selama dua minggu terlepas filmnya ada yang menonton atau tidak.
"Negara Prancis saja yang industri filmnya sudah maju masih memiliki aturan seperti itu. Negara kita tidak," ujar Shandy yang mungkin mewakili sebagian perasaan filmmaker Indonesia.
(ich/ich)